Cerpen | Kesempatan Kedua
Gunuang biaso timbunan kabukik, lurah biaso timbunan aia
Lakuak biaso timbunan sampah , lauik biaso timbunan ombak
Nan hitam tahan tapo, nan putiah tahan sasah
Di sasah bahabih aia, dikikih bahabih basi
OoOoOoOoOoOoO
“ANDI! LO MEMANG TERLAHIR UNTUK JADI SAMPAH! INI HADIAH UNTUK BUAT LO!”
Bang Haris kasih pukulan tepat di ulu hatiku. Mulutku mulai mengeluarkan darah. Ah, memang sudah saatnya untuk mati hari ini jika memang benar aku ditakdirkan untuk menjadi sampah.
“ALLAHU AKBAR! LA ILLA HA ILALLAH! Sudah saatnya aku menghadapmu, Tuhan.”
OoOoOoOoOoOoO
“ALLAHU AKBAR!”
Aku pun terbangun setelah harus
mengalami mimpi buruk itu. Memang, pada beberapa periode dimana aku sakit, akan
selalu ada mimpi buruk yang menghampiriku. Mimpi itu seolah menandai bahwa
kondisiku sudah membaik. Tersadar dengan semua mimpi itu, aku pun menyadari
bahwa sekarang sudah pukul 13.00. Yak, aku sudah melewati waktu Zuhur dan
tinggal waktu 1 jam lagi untuk bertemu seorang teman untuk nongkrong serta
meminta bimbingan materi.
Sejak dikeluarkan dari kampus yang
lama akibat fitnah video asusila tersebut, aku pun merasa depresi. Aku sampai
terpikir bahwa apakah memang kutukan dari Bang Haris itu benar adanya atau
memang ini semua hanya kebetulan saja. Ah, sepertinya benar adanya. Butuh satu
minggu bagiku untuk menceritakan itu ke orangtua. Aku bercerita sangat banyak
sampai air mata berlinang membanjiri bantal ketika itu. Penyesalan tentu saja
menjadi menu utama selama satu minggu itu. Antara kenapa aku bodoh sampai
kenapa aku masih begitu baik ke semua orang tanpa berpikir apa yang terjadi
kelak. Mungkin, aku sekarang ini sedang berada dalam titik nadir kehidupan
tersebut. Aku pun merenung dan bertanya pada diri sendiri.
“Apakah masih ada kesempatan kedua
bagiku?”
Aku saat itu hanyalah seorang anak
kampung yang merantau demi tujuan memperoleh ilmu, namun, jalan yang kulalui di
tahun pertama saja sudah cukup berat seperti ini. Aku pun mulai patah semangat
dan merasa bahwa jalan ini perlahan-lahan tertutup untukku. Balik ke kampung terkesan
sangat memalukan bagiku. Apalagi, Amak pun cerita jika sekampung pun sudah
mulai paham dengan fitnah asusila tersebut. Ini memang titik nadir bukan hanya
untukku, namun juga keluargaku sendiri. Aku bingung apa yang harus kulakukan
lagi untuk bisa bertahan hidup. Aku pernah membaca beberapa cerita motivasi
tentang seorang yang mencapai titik rendah dan kembali bangkit. Sayangnya, aku
tidak yakin bisa mengulang satu dari sekian cerita yang tercatat itu. Aku
merasa tidak punya apa-apa lagi, bahkan bakat terbaikku juga yang membuatku
terjatuh. Ya, seandainya aku tidak menulis artikel yang lebih keren dari punya
Tino tersebut, mungkin aku akan menjalani masa 4 tahun kuliah dengan nyaman
tanpa intrik-intrik seperti ini.
Ah, Tuhan. Apakah memang harus
kuakhiri saja hidup ini? Toh, percuma juga jika aku bertahan lama di sini
dengan segala anggapan bahwa aku adalah orang yang sudah bermaksiat. Aku mulai
merasa sejak video asusila itu menyebar, setiap aku berjalan, orang mulai
memandangku dengan tatapan sinis. Kemanapun, entah itu ke pasar ataupun juga ke
masjid. Seolah, sudah ada tato yang melekat bahwa aku pernah menjadi actor
sebuah video asusila. Bukan sebagai actor film laga Hollywood, FTV romansa di
stasiun televisi, atau film horror yang merajalela. Hanyalah sebuah video yang
sangat tercela.
OoOoOoOoOoOoO
“Assalamu’alaikum, Andi. Iko Mak
Heri. Baa kaba kini? Ambo danga dari Amak katonyo Andi diberhentikan yo dari
kuliah? Tabah se yo, Ndi. Jakarta memang kareh nyo. Ndak taka kampuang do. Ambo
alah pulo marasoan betapa kerasnya kota Jakarta ko. Oh yo, bantuaknyo ambo
butuh bantuan Andi saketek dulu, dima Andi tinggal? Sekalian ambo silaturahmi
pulo ka kamanakan wak ciek lu.”
Pesan singkat dari Mak Heri itu
sedikit menyegarkan di tengah suasana hati yang sedang hampa ini. Mak Heri
sendiri adalah saudara kandung ibuku yang sekarang sudah sukses berkarir di
kota Jakarta.
Pada awalnya, Amak dan Apak memintaku untuk tinggal di tempat
beliau, namun, karena keinginanku untuk tinggal mandiri. Akhirnya, aku memilih
untuk mencari kosan yang berada di dekat kampus. Meskipun, aku masih
mendapatkan duit dari orangtua untuk hidup hingga saat aku harus berada dalam
posisi terendah ini. Mak Heri sendiri merupakan orang yang sangat baik sebelum
dia berkarir di Jakarta, sewaktu pulang kampung, dia sering sekali memberikan
uang ke setiap keponakannya. Bahkan sampai aku SMA pun, dia masih memberi duit.
Dia merupakan orang yang mendorongku untuk mencoba berkarir di tempat jauh,
terutama atas dasar kesuksesan yang dia alami sekarang ini.
Membaca pesan singkat tersebut
membuatku bertanya, apakah yang membuat Mak Heri tiba-tiba meminta bantuan
padaku? Apa karena atas dasar kasihan saja terhadap situasiku yang lagi hancur
seperti ini? Atau apakah ada alasan lainnya? Hanya Tuhan dan waktu yang tahu.
OoOoOoOoOoOoO
“Andi, baa kaba kini? Ndeh, alah
batambah gadang anak Amak kini yo?”
“Yo, lai taka iko se lah, Mak.
Kini sadang dalam kondisi randah taka iko, Mak. Ambo kanai fitnah pulo di
siko.”
“Andi, basaba se lah kini lai.
Ambo alah danga carito dari Amak, emang parah bana tu orang. Intinyo kini ko,
yo awak tetaplah bertahan di niat awal. Di siko niatnyo mau nyari ilmu kan? Prosesnyo
emang tergantuang dek awak ma. Baa awak ka nilai prosesnyo tu? Ntah rancak atau
indaknyo.”
“Yo, taka itu. Mak. Tapi, baa pulo
ambo ka lanjutkan prosesnyo? Kini se ambo alah dapek fitnah taka itu, Mak.”
“Andi, danga kecek ambo yo. Dulu
wakatu ketek, ingek kan dulu Andi sering bana minta ke ambo untuak jalan-jalan
ka Pantai Gandoriah waktu tu caliak pesta Tabuik. Sampe taniek pulo dek Andi
buek pegang tu apo namonyo, bantuak menara Tabuik lah. Wakatu Andi berhasil
pegang menara tu, pasti ado berbagai macam perjuangan kan? Banyak halang
rintang kan waktu itu?”
“Iyo sih, Mak.”
“Wakatu tahun bara tu, pas Andi 7
tahun, Andi ndak berhasil sampai ke menaranyo, terus Andi langsuang nangih
karena ndak dapek itu do ma. Tapi, setelah 8 tahun, Andi berhasil pegang menara
itu kan? Ambo sampe ingek waktu tu Andi sanang bana pas berhasil caliak tu
menara dan pegang saadonyo. Ingek kan waktu tu?”
“Iyo, ambo sampe lompek-lompek kegirangan
lah pas berhasil waktu itu.”
“Nah, taka itu lah apo nan sadang
Andi alami kini. Anggap se lah hidup itu semacam proses waktu pesta tabuik lah.
Jujur yo, sabananyo selain mencari ilmu di Jakarta ko, apo nan jadi tujuan Andi
kini?”
“Ambo nio jadi urang bermanfaat
buek urang lain. Yo, entah apapun lah caranyo lah. Itu se nyo. Tapi, baa juo
lai, semenjak fitnah itu menyebar, banyak urang nan mancacek beberapa hal lah.
Ado nan bilang ambo alah jadi bintang porno, sampe ado yang nanyo pulo bara
harago sewa sajam. Apo lah tu, Mak? Ambo ndak membayangkan bakal dapek gelar
sebagai bintang porno taka itu, Mak?”
“Alah ma, Ndi. Padia se lah tu.
Urang bakal lupo samo hal itu perlahan-lahan. Salamo ndak ado nan angkek-angkek
tu video. Aman se tu nyo. Intinyo, jan pikirkan pulo itu lai. Ambo tanyo
saketek ka Andi?”
“Apo tu Bang?”
“Manga urang gilo nan suko jalan
di tapi jalan tu, inyo sering makan di tempat sampah, pakai pulo banang sahalai
tu nyo. Manga nyo ndak pernah mengeluhkan ado darah tinggi sampe sakik stroke
atau mungkin kanai penyakit infeksi?”
“Mmmm. Ndak tau do, Mak.”
“Inyo tu ndak ado hal barek nan
dipikirkan. Jan bapikirkan se itu lai, tambah lo panyakik wak baiko. Dulu, Andi
ko dek ambo tu adalah kamanakan yang pantang menyerah, selalu berusaha untuk
berhasil. Tapi, dima kini semangatnyo Andi? Ma Andi nan dulu? Lah, iko Andi lalok
lu, tanangan diri dulu. Beko ambo ka jalan-jalan ka beberapa tempat sekedar
untuk refreshing. Lai nio Andi ikuik ambo?”
“Ikuik se lah, Mak. Mungkin ambo
butuh sedikit piknik bantuaknyo. Lah suntuk pulo utak ambo ko. Ingin pulo
saketek meluapkan emosi ke arah yang positif.”
OoOoOoOoOoOoO
Percakapan yang cukup intim dengan
Mak Heri tadi bisa dibilang awal kebangkitanku dari titik nadir. Mak Heri
adalah orang yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Waktu aku SMA, aku
sering curhat ke dia soal bagaimana kehidupan di Jakarta baik itu dari segi
ekonomi bahkan dari segi kriminalitasnya. Namun, ketika kuliah, Mak Heri pun
minta supaya aku tinggal sendiri terlebih dahulu, merasakan bagaimana kerasnya
kota Jakarta ini. Dan, memang kota ini sudah sangat keras bagiku, jauh lebih
dari guru Matematika waktu SMP dulu yang sering jewer dan pukul muridnya dengan
rotan bambu jika muridnya melanggar peraturan kelas, semacam berbicara ketika
pelajaran ataupun tidak mengerjakan PR. Dari situ, aku juga mulai tahu bahwa
ternyata jalan yang ditempuh Mak Heri untuk meniti karir di kota Jakarta ini
tidaklah mudah. Dia sampai harus dirampok, ditipu oleh asistennya bahkan
dituduh mencuri barang oleh rekan kerjanya. Dia juga ikut merasa depresi dan
sempat ada rencana padanya untuk bunuh diri, bahkan dia pun ikut dalam
percobaan tersebut. Hingga, sampai akhirnya, dia pun bertobat dan mulai berkaca
pada dirinya atas apa yang telah diperbuat sebelumnya dan kenapa mesti seperti
ini.
Ah, Andi, ternyata cobaan yang
kamu lalui belum seberat yang dialami Mak Heri. Hal itu pun membuatku mulai
berpikir mencari beberapa kerjaan di Jakarta, sekedar untuk mengisi waktu
luang. Namun, kembali satu pertanyaan muncul, jika aku kelak sukses mendapat
tempat kerja, apakah masih muncul bahasan tentang video asusila tersebut? Hanya
waktu yang kelak dapat menjawabnya.
Setelah percakapan itu, aku pun
ditawarkan sama Mak Heri untuk membantu salah satu bisnisnya di bidang penjualan
obat herbal. Aku pun diminta untuk menuliskan promosi tentang manfaat dan
kandungan dari jamu yang dirumuskan serta membahas soal penyakit-penyakit yang
muncul saat usia tua. Bahkan, tidak hanya itu saja, aku juga diminta beliau
untuk mengurus panti asuhan anak Yatim yang dibinanya. Aku juga diminta untuk
menjadi guru di sana. Ya, Guru. Profesi yang turut dijalani oleh Amak dan Apak
sampai mereka telah pensiun. Dan, masih banyak lagi. Entah, apa tujuan Mak Heri
untuk memintaku melakukan banyak sekali kerjaan selama aku berada dalam fase
hiatus ini. Ya, sejak itu, aku tidak lagi menyebut diriku sebagai orang buangan
sebuah universitas elit di Jakarta. Aku sering menyebut diriku sedang hiatus
kuliah karena tidak cocok dengan suasana di kampus tersebut. Meskipun, ada satu
atau dua orang yang mengangkat soal video asusila tersebut, Mak Heri pun turut
menjelaskan dengan rinci apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi, sampai sudah 4 bulan aku
bekerja membantu Mak Heri di beberapa bisnisnya, aku masih bertanya-tanya,
kenapa dia menginginkanku? Apakah dia memang kehilangan bantuan atau apa ada
hal lain? Ya, bukan karena aku mengeluhkan pekerjaanku banyak. Namun, aku
bingung, entah kenapa dalam waktu 4 bulan ini, aku merasa lebih bahagia dan
sontak lupa akan apa yang terjadi ketika aku awalnya ketemu beliau.
Hingga, pada malam hari setelah
sholat Isya, Mak Heri mengajakku makan di sebuah restoran Padang, disertai
dengan rendang ayam dan gulai cubadak yang menggoda lidah dan minuman kejayaan
Minangkabau, teh talua.
“Andi, alah 4 bulan Andi karajo
mambantu ambo di beberapa tempat yo. Baa kini perasaan Andi?”
“Mmm.. baa yo memulainyo, Mak.
Pertama, ambo mau berterimakasih banyak samo Mamak. Entah dek baa, tibo-tibo
ambo ko mulai lupo samo apo nan terjadi sebelumnya tu. Seolah-olah, ambo berada
pada waktu dimana ambo sering banget menulis blog ataupun artikel, yo sebelum
ambo kanai fitnah waktu itu, Mak.”
“Batua tuh?”
“Iyo sabananyo ambo ngomong ko,
Mak. Tapi, apo nan mambuek Mak Heri melakukan itu?”
“Iko yo, Ndi. Eh teh taluanyo lah
tibo yo. Lah ma, minumlah teh talua tu. Enak kalau diminum selagi hangat.
Langsuang manusuk ka tenggorokan, kasih stimulasi taka itu lah.”
“Ndeh, teh talua se Mamak Heri ko
yo. Lah, ambo minum ciek lu. Menggoda bana bau tehnyo. Ndeh mandeh.”
“Iko ambo lanjutkan yo. Jadi,
tujuan ambo untuk memberikan banyak kerjaan ke Andi ko supayo Andi tu menyadari
saketek bahwa hiduik ko yo berguna ma. Apo nan Andi dapek ko? Andi ambo suruah
untuk menjadi guru panti asuhan, menjadi guru ngaji TPA, sampai pulo bantu
menulis banyak bana. Dari artikel promosi sampai artikel biaso se nyo, bahkan
ado pulo ambo suruah Andi menulis iklan taka itu. Ambo bukannyo kehabisan
bantuan, tapi ambo nio Andi ko merasa bahwa inyo tu bisa berguna untuk
kehidupannya kelak.”
“Mmm. Tapi, bukannyo Mamak dulu
acoknyo berkata-kata yo?”
“Jujur, Ndi. Berkata-kata alias
banyak ngecek ko ndak berlaku di kehidupan kota Jakarta. Alah ambo caritoan kan
tentang hiduik ambo di siko? Beuuh susah bana. Kini ko, ambo nio bantu Andi
bukan dengan berbagai macam perkataan, tapi sebagai Mamak yang selalu
membimbing kamanakan ke jalan yang benar tu. Ambo nio sedikit mengeksploitasi
bakatnyo Andi, bantuaknyo nan ancak tu paliang eksplorasi lah. Andi jadi tau
apo nan Andi sanang ma. Iyo nak?”
“Iyo sih, Mak. Tapi, menurut Mamak
sendiri, lai bisa ambo baliak ka bantuak dulu?”
“Banget, Bro. Sok bana lo ambo
panggil “Bro”. Heealah yo. Manga pulo berpikir ka bantuak dulu. Mungkin dengan
ini, justru Andi akan menemukan sesuatu yang baru dalam diri Andi. Seolah-olah
terlahir kembali lah.”
OoOoOoOoOoOoO
Percakapan cukup lama dengan Mak
Heri itu mulai membuatku percaya akan namanya kesempatan kedua. Entah kenapa,
sekarang ini aku melihat cara membimbing Mak Heri kepadaku berbeda dengan apa
yang pernah dia lakukan di kala aku masih kecil. Sekarang, dia lebih menekankan
kepada aksi dan memberikan contoh nyata dibandingkan dengan hanya sekedar
kata-kata nasehat. Sebuah pendekatan yang mungkin berlaku pada anak-anak SD
yang masih membutuhkan nasehat-nasehat penting. Mak Heri bukan hanya pandai
dalam bernasehat, namun juga adil dalam bertingkah. Itulah kenapa banyak orang
yang senang bekerja dengannya. Ah, dia memang sosok mamak yang hebat untukku.
Aku beruntung punya mamak seperti dia.
Sosok Mak Heri kembali mengingatkanku
pada peran laki-laki Minangkabau. Mak Heri selalu menekankan bahwa kelak
laki-laki itu berperan sebagai kemenakan, mamak dan penghulu. Ketika di posisi
kemenakan, tugasnya adalah membantu mamak dan mempelajari segala hal tentang
adat Minangkabau terutama untuk kaumnya sendiri. Kelak, di Minangkabau sendiri,
kemenakan akan mendapatkan semacam waris pusako serta bimbingan apapun dari
seorang Mamak. Gelar pusaka yang didapat atas hubungan tali darah seseorang.
Mamak itu di-Indonesiakan itu seperti Paman namun dari keluarga ibu kita. Mak
Heri sendiri merupakan kakak paling tua dari Amak. Sehingga, sudah merupakan
tugasnya juga untuk membantu dan membimbing kemenakannya.
Kaluak paku kacang balimbiang
Daun bakuang lenggang-lenggangkan
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Daun bakuang lenggang-lenggangkan
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Memang, Mak Heri benar, laki-laki Minangkabau itu harus laki-laki yang adil, bertanggung jawab, pantang menyerah dan mampu membawa keluarga dan kaumnya ke jalan yang benar.
Dan, aku pun sadar jika aku kelak
akan jadi seorang mamak berhubung aku punya adik perempuan. Meskipun sayang,
kultur dari memperoleh ilmu lewat hubungan mamak dan kemenakan menghilang,
setidaknya keluarga besar kami masih menggunakan kultur tersebut. Hingga
sekarang.
OoOoOoOoOoOoO
Berleha-leha dengan kegiatanku
membantu Mak Heri di beberapa pekerjaan, aku mulai melupakan niat awalku untuk
tinggal di Jakarta. Meski perlahan-lahan, hal yang aku takuti ketika itu mulai
pudar ditutup oleh waktu yang bercampur keringat dan kontribusi positif. Aku
mulai mencoba mencari kesempatan kedua, aku mulai kembali mendaftarkan diri
untuk kuliah di Universitas Negeri Jakarta. Sebuah kampus yang tergolong bagus
namun dari segi nama, kampus tersebut belum seterkenal kampusku sebelumnya. Mak
Heri pun juga turut mendukung niatku untuk kembali berkuliah dengan mengurangi
beban kerjaku sedikit demi sedikit supaya aku bisa mempersiapkan diri untuk
menjalani tes masuk kuliah kelak.
Dan, setelah menunggu sekian lama,
akhirnya aku kembali diterima di Universitas Negeri Jakarta pada jurusan
Pendidikan Agama Islam. Jurusan yang juga ditempuh Amak waktu berkuliah.
Menurut seorang teman disertai dengan penelusuran mendalamku, ternyata di
kampus ini, juga disediakan media forum diskusi Islam untuk mahasiswa dan
dosennya. Tentu, hal ini membuat semangatku dalam menuntut ilmu baik sains
maupun agama bertambah lagi. Aku sangat senang ketika mengetahui namaku ada
dalam daftar orang yang diterima. Aku pun sontak mengumumkan kabar baik ini
kepada semua orang yang telah mendukungku selama aku berada dalam titik nadir
ini. Kepada Amak, Apak, Mak Heri, Nita, dan tentu saja, Wiwin. Temanku di
kampus lama yang masih sering berbagi kabar denganku.
“Alhamdulillah ambo lulus kembali
diterima di Pendidikan Agama Islam UNJ. Terimakasih atas doanya!”
“Ondeh mandeh batisute rancak bana
tu. Itulah, Ndi. Awak ko nyo harus bersabar tuh, Ma. Tuh, Allah alah kasih Andi
kesempatan kedua. Alah Mamak bimbiang Andi tentang kerasnya kehidupan Jakarta
taka itu, kini sudah saatnya Andi untuk berjalan sendiri lagi menuju tujuan
yang telah Andi inginkan. Sukses yo, Nak! Lai hebat pulo kamanakan ambo lo
saketek!”
“Alhamdulillah, Ndi. Selamat yo!
Amak jo Apak baru salasai Sholat Magrib ko. Amak dan Apak selalu mendo’akan di
setiap sholat supaya Andi menemukan jalan nan rancak. Manfaatkan kesempatan
kedua dengan baik yo! Salam dari Nita untuak Andi, alah Amak bimbing pulo Nita
biar pas dapek sekolah di kota besar supaya tetap memperhatikan adat istiadat
Minangkabau tu.”
“Waduh, bro Andi! Selamat ya,
Allah memang tidak buta dan tuli kok, bro. Dia Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Kamu sudah dapat kesempatan kedua dan manfaatkan! Selamat datang
kembali di masa kuliah. Kita memang sudah tidak sekampus lagi, Bro. Tapi, tetap
jaga silaturahmi lah ya, Bro. Aku dan teman-teman juga berada di belakangmu kok
100%”
Balasan dari mereka pun kembali
membangkitkan semangatku untuk berjuang sesuai tujuanku berada di kota Jakarta.
Yaitu, menuntut ilmu sebanyak-banyaknya dan meningkatkan moral sebaik-baiknya.
Aku pun mulai merenung dengan sedikit tersenyum.
“Tuhan, apakah ini yang dinamakan
kesempatan kedua?”
OoOoOoOoOoOoO
Kesempatan kedua ini benar-benar
aku manfaatkan dengan sebaik-baiknya dan tentu saja, lebih berhati-hati.
Kejadian buruk itu mengajarkanku tentang kehati-hatian dalam mengambil
keputusan. Mempertimbangkan segala baik dan buruknya dan tentu saja, bertahan pada
pendirian. Hal itu tentu saja masih belum menjadi senjata tajam untukku tetap
bertahan di hiruk pikuk kota keras ini. Perlu dipertajam lagi dengan berbagai
pengalaman dan bimbingan. Bukan hanya itu saja, teman-temanku di kampus baru
juga menerima keberadaanku dengan baik. Meskipun, ada satu atau dua momen
dimana video aku sendiri jadi pembahasan, tetapi, aku dan teman-teman pun tidak
menganggap itu sebagai hal yang buruk. Terkadang, malah dimanfaatkan sebagai
bahan lelucon belaka.
Ah, mereka juga sadar kok kalau
setiap orang pasti pernah punya kesalahan besar dalam hidupnya.
Dan, mereka tentunya sadar bahwa setiap orang bisa taubat atas dosanya dan kembali ke jalan yang benar.
Dan, mereka tentunya sadar bahwa setiap orang bisa taubat atas dosanya dan kembali ke jalan yang benar.
Di kampus baru, aku justru
memperoleh banyak kepercayaan. Aku juga turut menjadi Ketua Dewan Pers
Mahasiswa di fakultas aku bernaung. Sebuah jabatan yang mungkin jika aku berada
di kampus lama, pastinya akan sulit didapat karena sifat egois yang membekas di
diri Tino. Ah, aku jadi ingin tahu kabarnya si Tino seperti apa. Aku sempat
lupa jika dia pernah muncul dalam hidupku dan memberikan luka yang sempat sulit
untuk dihapus. Aku pun juga mendapatkan beberapa teman yang sudah aku anggap
sebagai sahabat, tempat berbagi dan bertukar pemikiran serta menceritakan
keresahan yang ada. Dan, satu hal, di kampus baru ini, aku menjadi semakin
dekat dengan Allah swt.
Salah satu dari sahabat itu adalah
Syarif. Dia sendiri berasal dari Banjarnegara, sebuah kota yang cukup jauh di
Provinsi Jawa Tengah. Bagiku, dia adalah orang yang selalu ceria dan sering
menjadi tempat untuk meminta informasi penting tentang dunia Islam. Dia orang
yang menurutku aneh, namun anehnya bukanlah hal negatif. Namun, aneh yang dapat
diterima dan terus terang, dikagumi jika paham maksudnya. Hari ini, aku tersadar
bahwa aku ada janji sama dia untuk meminta bimbingan materi ke Ustadz Ismail.
Kita rencananya akan mampir ke rumahnya setelah sholat Ashar, namun berhubung
suasana Jakarta yang macet, kami pun mencoba untuk berangkat lebih awal lagi.
Ustadz Ismail sendiri merupakan
salah satu dosen favorit saya di kampus baru ini. Dia selalu menekankan kepada
kita bahwa semua makhluk hidup itu terlahir di dunia ini atas tujuan tertentu.
Sehingga, dia sendiri salah satu orang yang tidak suka jika ada sebutan ke sebuah
makhluk sebagai makhluk tidak berguna. Bagi dia, status “makhluk tidak berguna”
itu hanyalah nonsense belaka. Yang
benar adalah kita saja yang belum memahami kegunaan dari makhluk tersebut. Dia
juga yang mendorongku untuk memahami apa makna hidup itu sebenarnya. Ustadz
Ismail memang mengingatkanku pada sosok Mak Heri.
Aku dan Syarif pun sudah
bersiap-siap menuju rumah beliau. Dan, seketika, aku memperoleh telpon dari
sebuah nomor yang tidak dikenal. Ternyata, nomor tersebut turut memberikan
pesan singkat bagiku.
“Mas Andi! Selamat atas
kesuksesanmu! Kamu membuktikan bahwa mereka salah denganmu melalui kesempatan
kedua ini. Semangat!”
Aku pun mulai kebingungan apa yang
dimaksud pesan singkat itu. Sepertinya, tidak mungkin pesan itu datang dari
Bang Ari, orang yang menginterviewku untuk menjadi wartawan di The Indonesian
Eyes. Mereka tentu saja akan mengirimkan email dan apakah mungkin mereka harus
mengirimkan pesan singkat seperti ini?
Dan, kenapa juga dia paham dengan
kata “Kesempatan Kedua” ini? Pastinya, dia orang yang paham denganku
sebelumnya. Sangat sial aku tidak bisa membuka email kali ini karena dataku
habis. Tapi, ah sudahlah, jangan pikirkan dulu deh. Ketukan di pintu sudah
terdengar disertai suara ngapak a la Syarif. Aku sudah berpakaian rapi dan yak,
saatnya untuk pergi!
OoOoOoOoOoOoO
------------------------------
Cerpen ini adalah bagian ketiga dari seri cerpen Wattpad saya berjudul "Tinta Setelah Penjara". Cerpen ini juga dapat ditemukan secara gratis di Kompasiana dan Wattpad
Kak Farhan, tolong d terjmahkan dong, bahasa daerahnya.
ReplyDeleteMemang lebih enak diberi pelajaran dengan praktek langsung dibandingkan dengan nasihat saja. Lebih mengena.
ReplyDeleteKaka Farhan, tolong dong bahasa daerahnya diterjemahin, belepotan aku ni baconyo. 😌
Kesempatan kedua yg didapatkan oleh Andi bukan serta merta datang dg sendirinya. Tapi karena motivasi kuat dari dalam diri dan dukungan lingkungan (dalam hal ini adalah Mak Heri).
ReplyDeleteBagus kak Farhan cerpennya. Apalagi ada selipan budaya Minangkabaunya, meski sayang dialognya nggak ada translate.
To be honest, cerita ini lebih rapih dibanding cerita selanjutnya yang si Andi ke Jogja. Tapi ya untuk cerpen aku gak menemukan suspensenya sih ehehe. Ini aku doang loh. Terus untuk bahasa daerahnya, aku sama sekali gak ngerti. Lebih baik kalo bahasa daerahnya diterjemahkan ke bahasa Indonesia biar pembaca non-minangkabau bisa ngerti. Kecuali kalau tulisan ini hanya ditujukan untuk pembaca minangkabau saja.
ReplyDeleteDi kampus baru, aku justru memperoleh banyak kepercayaan --> bikin ambigu kak ��
ReplyDeleteMungkin bisa dibenahi: di kampus baru, teman2ku sering memberi amanah kepadaku karena mereka percaya bahwa aku akan melakukannya dengan baik
Yaaa kak Farhan tau lah mana diksi yang lebih baik.
Btw, kusarankan, kalo ada bahasa daerah, tulisannya diitalic. Kemudian kasih artinya juga, biasanya pake (ginian)
Soalnya... Sejujurnya yang percakapaj bahasa daerah, aku gak paham, jadinya aku lewatin, lanjut baca yang bahasa indonesia ��
Di awal paragraf ada kalimat : "Ini hadiah untuk buat lo!"
ReplyDeleteKata "untuk" sama dengan kata "buat", sebaiknya dipilih salah satu katanya aja, Mas Farhan.
Terus terang, waktu yang digunakan oleh saya untuk membaca cerpen yang ini, lebih cepat dari cerpen sebelumnya.
Karena saya melewati bagian yang menggunakan bahasa daerah. Saya gak ngerti, makanya di lewat he he he
Lebih baik dituliskan juga terjemahannya, Mas.
Saya lebih suka yang ini sih daripada cerita sebelumnya, lebih rapi. Tapi ya itu, saya menerka-nerka aja arti dialog-dialog dengan Mak Heri. Hehe. Lain kali dikasih terjemahan ya, Kak :)
ReplyDeleteBtw, bikin penasaran lagi nih gimana lanjutannya. Semoga saya nanti bisa baca, ya :)
aku bacanya jadi ingat Padang kak
ReplyDeletebaa kaba?
wah, berasa sedang naik bus dari Kota Padang menuju Bukit Tinggi, kangen
Cerpennya bagus, membuat pembaca awam seperti saya menjadi lebih mengenal karakter khas para tokoh, sayangnya saya kurang mengerti bahasa Minang jadi tidak mengerti percakapannya para tokoh
ReplyDeletePenasaran dengan lanjutannya, para tokohnya menarik dan punya karakter yang khas
ReplyDeleteBerhubung tempat kerja ssaya sekarang menggunakan bahasa minang, jadi agak mengerti sedikit arti kalimatnya. Namun, ada baiknya jangan semua percakapan itu dalam bahasa Minang, Farhan. satu-satu saja, yang sering didengar oleh banyak orang. pasti akan lebih mengalir cerpennya. Kalau semua percakapan tsbt dalam bahasa minang, walhasil orang2 yang ga paham akan kabur saat membacanya. terus alurnya terlalu rumit menurutku untuk sebuah cerpen, Farhan. btw, tetap semangat yaaaa
ReplyDeleteSarah, karena tidak semua mengerti bahasa daerah. alangkah lebih baik diterjemahkan juga. Atau kalau mau pake bahasa daerah, cuman beberapa dialog aja yang tidak terlalu penting, selanjutnya pake bahasa Indonesia. Jadinya agak kurang menarik untuk saya baca selanjutnya
ReplyDeleteKarena setiap kesulitan pasti ada jalan
ReplyDeletePada komen bhasa daerah, aku pun. Baiknya dikasih terjemahan di sampingnya atau catatan kaki biar yg baca lbh paham setiap katanya. Lumayan kan kalau tahu bahasa dr daerah lain
Terinspirasi dari kasus video mahasiswa itu ya, Han?
ReplyDeleteLebih detil dan terstruktur. ngebacanya memang perlu perlahan lahan paling agak bigung dengan bahasa daerahnya tapi masih bisa diikuti deh dikit-dikit
ReplyDeleteIni mungkin yg terjadi sama korban2 fitnah yaaa. Menyedihkan. Lebih sedih lagi karena cerita ini nggak ada subtitle dlm bahasa indonesia. Hihi. Next time dikasih subtitle dong kak
ReplyDelete