Puisi | Menanti Waktu Berhenti
Aku berbaring tergeletak di lantai kayu ini.
Hanya menantikan waktu untuk berhenti.
Semua beban tubuhku telah terangsur menghilang bersamaan
dengan berbagai cairan yang keluar terus-menerus.
Aku tidak kuat untuk meminta mereka berhenti berlari. Bahkan
untuk bersuara pun, aku sudah lelah.
Tuhan, apakah memang ini semua harus berakhir?
Pakaianku kusam, mukaku penuh lebam, apakah ini layak untuk menghadapMu?
Aku masih ingin membalas senyuman dari matahari yang membias
di jendelaku.
Aku masih ingin menyanyi bersama suara kendaraan yang
berlalu lalang di saat berangkat kerja.
Aku sudah tidak kuat untuk semua ini, Tuhan.
Aku berbaring tergeletak di lantai kayu ini.
Hanya menantikan waktu untuk berhenti.
Aku masih menyimpan rindu akan seorang cowok nun jauh di
sana.
Ya, cowok yang aku kenal hanya melalui dunia maya belaka.
Dia bukanlah tampan untuk ukuran orang tempatku, namun
perilakunya sangatlah menyenangkan.
Mungkin dia sudah sibuk dengan kerjaannya melayani para
orang sakit di sana.
Sedangkan aku sendiri, masih melawan segala rasa sakit yang datang
silih berganti.
Hanya karena hasrat sepihak yang tak terbendungi lagi.
Aku sudah tidak kuat lagi, Tuhan.
Aku berbaring tergeletak di lantai kayu ini.
Hanya menantikan waktu untuk berhenti.
Tuhan, aku belum siap menghadapmu dalam keadaan yang kotor
ini.
Kenapa cowok kurang ajar itu harus datang lagi setelah
sekian lama?
Apa yang dia mau dari sosok aku yang tidak punya apa-apa
ketimbang dia?
Cinta? Aku sudah muak melihat wajahnya bahkan mendengar namanya
pun.
Harta? Dia malah lebih kaya dari aku, bahkan dia hanya
gunakan itu untuk bermain wanita lain.
Kebahagiaan? Itu hanya untuk dirinya saja, sepihak.
Kenapa harus aku, Tuhan? Aku masih ingin menjadi orang yang
berguna bagiMu, Tuhan.
Berikan aku secercah harapan untuk kembali tersenyum di pagi
esok, Tuhan.
Aku sudah tidak berdaya lagi hanya untuk menggerakkan mulut
ini untuk berharap.
Aku berbaring tergeletak di lantai kayu ini.
Hanya menantikan waktu untuk berhenti.
Ah, sepertinya ada satu orang tinggi berjubah hitam datang
ke hadapanku.
Datang dengan watak yang tegas dengan penuh keikhlasan,
Dia membawa jam dan menunjukkan padaku sisa waktuku sekarang
ini.
Aku ingin mencoba nego orang tersebut, namun dia menggeleng
dengan kerasnya.
“Waktumu sudah habis!”. Kata dia dengan tegas,
Segala cairan yang ada pun sudah mulai melambat dengan
konstan.
Tubuh pun mulai terasa ringan, hanya menyisakan sebuah
kerelaan
Ya, aku sudah merelakan apa yang akan terjadi bagiku ini.
Tuhan, jika memang waktu tidak bisa dihentikan lagi. Aku mau
titip pesan satu saja,
“Tolong jaga cowok baik itu dengan sungguh-sungguh.
Biarkan aku melindunginya untuk seumur hidupnya dari sini.
Aku tidak ingin dia menjadi cowok yang kurang ajar itu.
Cowok yang hanya mementingkan urusan hasrat belaka hingga melakukan
ini untukku.
Biarkan aku menjadi malaikat untuknya, Tuhan.
Karena, aku benar-benar mencintainya.
Maafkan aku, Cintaku. Sampai jumpa lagi! Matur nuwun!"
--- NY ---
Jika kalian belum paham referensinya, silahkan baca dimulai dari :
5745 Kilometer --> Nanako (part 1) --> Nanako (part 2) --> I Miss You, Nanako!
Puisi yang indah, sangat deskriptif dan penuh makna
ReplyDeletethanks, Mas Charles.
DeleteHmm,,, mungkin coba dibuat dengan kombinasi bait yang berbeda, jadi lebih variatif dan membuat yang baca jadi lebih ringan,
ReplyDeleteterima kasih, mas. memang ini puisi pertamaku yang aku berani publish, jadi ya.. masih meraba-raba dulu kata yang pas gimana.
DeleteAku salut lhooo dengan kesibukan dan keilmuan yang dimiliki bisa ngebuat puisi dengan makna yang dalam,. Lanjutkan terus karyamu mas
ReplyDeleteterima kasih, mas dodon.
DeleteMantappp, bisa ikut lomba puisi nih, lagi banyak bangett tuh lombaaanya, kesempatan menang besar banget tuh dengan karya mas yang keren banget gini.. wihh panutann laah :D
DeleteAku ngeri bacanya mas, kok aku menangkap kalau ini tentang kematian ya. Ya gitulah ya kayaknya, setiap orang punya penangkapan yang berbeda
ReplyDeletei'll leave that to your interpretation!
DeleteAgak-agak ngeri bacanya. Bahasa dari puisi ini ringan, enggak terlalu membingungkan banget. Tapi, kok gue kayak kurang sreg gitu, ya, gunainnya cowok bukan pria aja atau laki-laki biar terkesan puitis gitu. :D
ReplyDeletejujur... aku sendiri bikin puisi ini sempat galau, apakah bakal dibikin kayak puisi, apa kayak cerpen gitu. tapi, aku catat dulu. thanks!
DeleteSemacam keputusasaan ya. Kenapa cuma nunggu? Sedang sekarat kah?
ReplyDeleteSerem juga puisinya. Tetap semangat!
Baca ini kayak baca puisi naratif, lebih bercerita sehingga pembaca bisa mengikuti jalan ceritanya dengan lebih lengkap dibandingkan membaca puisi yang superpendek
ReplyDeleteSarat makna dan lumayan bikin baper. Hehe
ReplyDeleteEndingnya jauh dari perkiraanku. Menyedihkan ternyata.
Ini dari sudut pandang Nanako ya?
ReplyDeleteGak seperti yang kubayangkan sih ternyata, hahaha. Kupikir Nanako santai2 aja hidupnya, ternyata pelik juga
Duh kasian ya si aku ini. Gak ada orang di sekitarnya kah?
ReplyDeleteBtw baca puisi ini jadi inget kematian. Ya Allah, semoga kita semua berakhir dengan husnul khatimah. Aamiin
Jadi sebenarnya dia itu sakit tapi enggak mau si cowoknya tahu, gtu ya? Hehe aku khawatir keliru.
ReplyDeletePdhl sbnrnya dia ngomong aja ya ke si cowok, toh kyknya kalau merunut ke belakang2 si cowoknya jg sbnrnya bertanya2 kok dia gak pernah say hey :D #sokteu :D
Antara haru, sedih, kasian dan deg2an bacanya. Btw jadi inget zaman galau, aku juga suka nulis puisi di buku tulis,...etapi sekarang ngilang entah ke mana tuh buku. Kan mayan kalau ditulis lagi di blog
ReplyDeletesyair sajak atau prosa gitu ya ini termasuk? atau puisi memang ada genre panjang gini ya. Aku ga begitu paham, tapi bait-bait syairnya cukup indah dirangkai.
ReplyDeletePerasaan yg disampaikan lewat puisi biasanya terdengar lebih dramatis .
ReplyDeleteSudah lama ku gak buat dan baca puisi, jadi rasanya saat baca puisi ini sda rasa rindu yng muncul pada puisi saat masa sekolah
Langsung ikut lomba membuat puisi dong wuehehe ;D
ReplyDelete