Cerpen | Tombol Kembali
sumber foto : dokpri |
Cerita tentang masa lalu
memang tidaklah menyenangkan. Ah, mungkin sudah saatnya mencari pelarian.
Akhir-akhir ini, aku sering ke warung kopi untuk sekedar menenangkan diri. Masa
tugas wajibnya di Gresik lah yang menjadikan itu kebiasaan untuknya. Aku sudah
mulai akrab dengan sensasi pusing setelah minum segelas.
Sembari mengerjakan
tugas laporan kerja, gawaiku pun berdering. Ada pesan singkat dari seorang
teman. Saat dibuka, muncul dari Siwi, teman kelompok saat koass dulu. Kami
akrab sekali karena jarak absen kami berdekatan. Kami sering bertukar cerita
tentang apapun. Tentang permasalahan selama koass, tentang keluhan di tempat
tertentu, bahkan sampai tentang cinta. Ya, kita hanya sebatas teman, kok. Tidak
ada pikiran untuk menjauh, berhubung Siwi sendiri lebih tua dariku.
“Halo, Gani! Gimana kabarnya
di sana?”
Dari pesan itu pun, aku
mulai kembali merajut tali silaturahmi yang sempat putus karena jarak. Ya,
memang kami sempat membenci di stase-stase awal. Itu terjadi karena kebodohanku
untuk bersikap. Meskipun, akhirnya, kami akhirnya kembali mengulang itu dan
semakin akrab selama koass berlangsung. Muncul berbagai pertanyaan, tentang pacar
barunya yang dia kenal saat pindah kosan, atau tentang suka duka selama tugas
wajibnya di Jogja. Jadwal tugas wajibnya 3 bulan lebih dulu dari aku, karena permasalahan
yang aku alami di satu stase selama koass.
Percakapan selama hampir
10 menit itu membuka memori lama yang aku sempat hapus selama berbulan-bulan
setelah uji kompetensi. Kebanyakan dari memori itu memanglah buruk, sehingga
aku sudah berniat untuk tidak mau mengingatnya lagi. Bahkan, aku sendiri sampai
keluar dari grup percakapan khusus kelompok koass dulu. Awalnya, sempat sedih
dan merasa bodoh karena keluar dari grup itu. Namun, perlahan-lahan, aku
berpikir bahwa itu jalan yang terbaik bagiku. Toh, jika memang kangen, aku bisa
interaksi personal ke beberapa anggota dari kelompok itu.
Rekaman memori itu
semakin muncul ketika Siwi menanyakan tentang rinduku akan dua nama, Lintang
dan Sani. Dua orang yang menggelapkan masa koassku. Yang satu, memang dijauhi
kebanyakan cowok di kelompokku meski sayangnya, aku yang jadi tumbal terbesar
karena sering dapat jatah untuk jaga bareng dia. Belum lagi, kata-katanya yang sering
membuatku tersinggung. Ataupun, sosok Sani yang terkenal sebagai raja gosip
atau lebih tepatnya, dari bahasa a la dianya, ghibah. Dia memang kenal aku sebelum
masa koass, dan selalu menceritakan beberapa tingkah bodohku kala itu. Belum
lagi, keburukan yang aku lakukan saat itu, membuatku berpikir untuk marah saja.
Faktanya, jika aku punya keberanian untuk main fisik, dua orang itu bisa
menjadi tumbal.
Memang sih, ada bagian
memori yang indah tentang koass. Buktinya, aku sampai beranikan diri untuk
berfoto bareng dengan mereka satu hari sebelum mereka pelantikan dokter. Aku
pun masih akrab dengan beberapa orang di kelompok itu. Namun, melihat kembali
rekaman memori itu, aku kebanyakan melihat hal yang buruk. Melihat dari stase
ke stase, sudah tak terhitung berapa kali aku merasa tidak berguna, berapa kali
juga aku merasa tidak nyaman bersama mereka. Dan, jika ditarik lagi, memang
semuanya itu bukan salah mereka. Bukan salah Lintang, bukan juga salah Sani. Namun,
salah orang yang aku hadapi di cermin samping kursiku itu. Ya, aku sendiri. Atau
lebih tepatnya, sifat inersia yang tinggal di diriku dengan kuatnya.
Aku jadi ingat sindiran keras
dari Yani saat jaga bareng di satu stase.
“Jangan pernah bilang
kita yang membencimu, Gan. Kamu memang yang tidak nyaman dengan kita, kan?”
Tidak disangka, rekaman
memori tadi membuat air mata sedikit menetes. Sampai mas-mas pelayan warung
kopi pun sempat heran saat menyajikan gelas kopi kedua yang aku pesan lagi. Harus
aku akui, kali ini, segelas kopi belum cukup untuk menghapus kenangan itu semua.
Di saat gelas kedua itu aku seduh, baru aromanya aku biarkan menyentuh
langit-langit mulut. Dan, dari situ, aku mulai muncul satu pikiran tentang masa
lalu itu.
Ya, aku mulai berpikir bagaimana
jika di dunia ini memang ada tombol untuk kembali. Aku ingin kembali ke waktu di
saat kita buka puasa bareng di sebuah restoran. Itu adalah momen dimana kita
pertama kali bertemu dan mengakrabkan diri sendiri. Saling mengenal satu sama
lain, dari kelebihan ataupun kekurangannya masing-masing. Bagaimana jika di
kala itu aku yang mulai mengubah pikiran buruk itu? Dari yang awalnya
beranggapan negatif ke beberapa orang, justru tidak berpikir apapun dan menganggap
semuanya hanyalah masa lalu.
Mungkin, di saat itu,
aku harus berpikir seperti Yani, masa bodoh dengan apapun. Atau, sudah punya
prinsip kayak David. Ah, memang banyaklah yang ingin aku ubah kala itu.
Bisa saja masa koassku
selama 2 tahun akan berubah drastis. Aku dan Lintang justru tidak saling membenci
lagi. Atau, justru, bisa saja aku dan Tika malah pacaran seperti apa yang aku bayangkan
dulu di awal koass. Aku sempat suka dengannya karena auranya yang mengingatkanku
akan sosok Nanako. Ya, sebelum direnggut oleh Sani yang dengan kurang ajar
membocorkan segalanya. Bisa saja hubunganku dengan beberapa residen malah
semakin akrab karena aku yang semakin percaya diri saat itu.
Tapi, kembali ke prinsip
yang aku pelajari di kampungku dulu, alam
takambang jadi guru. Semuanya terjadi supaya aku bisa belajar dari itu. Setidaknya,
aku sudah cukup nyaman dengan apa yang aku alami sekarang ini. Menikmati
hidupku selama setahun di Gresik, sembari masih berjuang untuk pelan-pelan menghilangkan
sifat inersia ini dan belajar dari berbagai macam situasi yang muncul. Aku gunakan
pengalaman itu untuk menjalani sisa hidupku yang sekarang.
Itulah kenapa hidup ini
tidak punya tombol untuk kembali.
Karena, tidak semua orang
justru ingin kembali. Optimisme adalah alasan mereka untuk itu. Sedangkan, pesimislah
yang selalu berharap tombol itu muncul.
Setelah menikmati gelas kopi
keduaku, Siwi meminta izin pamit dulu karena ada panggilan dari tempatnya.
Tiba-tiba, rekaman memori itu juga menghilang. Aku juga kembali ke rutinitasku semula.
Yang lalu biarlah berlalu,cukup menjadi pembelajaran agar hidup lebih baik lagi
ReplyDeletememori pahit kadang bisa jadi indah ketika kita bisa menikmatinya..
ReplyDeletealam takambang jadi guru - jadi teringat quote yang juga pernah terselip dalam bukunya A. Fuadi, heee. Andai bisa flashback,....
ReplyDeleteCukup belajar dari masalalu dan siap menghadapi masa depan
Insyaalllah
keren gitu ya pasti kalau beneran ada tombol kembali ke waktu silam, kupun mau pake
ReplyDeleteTak ada tombol untuk kembali, benar sekali sih. Aku pernah baca juga kalau masa lalu ya emang masa lalu, nggak ada waktunya nyesel berlarut2 dan fokus pada masa sekarang :3
ReplyDeleteGak ada tombol untuk kembali, tapi ada pintu doraemon yang bisa membawa kita ke masa lalu. Halah fiktif semua ini. Haha
ReplyDeleteHmmm inti ceritanya: kangen???
Bersyukurlah tidak punya tombol untuk kembali...
ReplyDeleteJika ada kita takkan pernah sampai ke masa depan...
Karena manusia tak pernah merasa puas..selalu akan mengulang..ingin suatu yang terbaik..
Andai kita selalu ingin kembali ke masa lalu..
Kita gak sampai dititik ini..
#eeea ��
Kembali ke masa lalu bisa kok, bukan fisik kita yang kembali ke masa lalu tapi perspektif kita yang berubah dan bisa mengubah masa lalu
ReplyDelete"Alam takambang jadi guru" itu bahasa manakah? Minang?
ReplyDeleteHohoho kalau aku pasti bakal bingung nih, kadang aku pengen tombol kembali, tapi kalau ingat kenangan buruk jg tak mau balik :D
Gak akan ada tombol untuk kembali, makanya setiap tindakan yang kita lakukan (jika mungkin) harus dipikirkan dengan baik bagaimana efek ke depannya. Yang penting, saat ini masih punya waktu untuk memperbaiki apa yang dirasa salah.
ReplyDeleteEmang bener banget sih kak gak semua orang ingin bisa kembali ke masa lalu, apalagi kalau udah ada di titik kehidupan masa kini yg nyaman ngapain mesti balik lg ke masa lalu ya hehe
ReplyDeleteMasa koas adalah masa yang indah dan semoga yang indah saja yang menjadi memori jangka panjang
ReplyDeleteMari...
ReplyDeleteKita lupakan masa lalu.
Dan tidak kembali menolehnya hanya untuk melihat diri kita yang dulu.
mari "move on"! karena apapun yang terjadi.. que sera, sera!
ReplyDelete