Cerpen | Merantau Bersama Tinta



Karantau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di kampuang paguno balun

Perantauan episode kedua pun dimulai! Kali ini, aku merantau lagi ke tempat yang lebih jauh dari kampung halamanku di Padang. Setelah menghabiskan waktu empat tahun di Jakarta mempelajari tata cara menulis dengan baik, membaca ratusan buku dengan berbagai jumlah halaman, menerima pemasukan duit dari orang tua yang pasang surut, mencari kertas-kertas tambahan dengan menjadi kuli tinta. Akhirnya, aku pun mencoba peruntungan untuk bekerja tetap di Yogyakarta. Sebuah kota yang kerap disebut sebagai kota pelajar. Salah satu teman kuliahku sering bercerita tentang indahnya kota Yogyakarta ini. Entah itu dari murahnya makanan di sana, ataupun dari ramainya aliran kreativitas di sana, atau juga dari kentalnya budaya Jawa di kota tersebut yang mulai dihiasi dengan suasana keberagaman yang dibawa oleh para perantau.

Hari ini merupakan hari kedua aku di Yogyakarta. Sebelumnya, aku memutuskan untuk tinggal bersama Mak Rizal. Adik dari ibuku yang sudaah menghabiskan 10 tahun hidupnya di sini, sudah menikah dengan sesama perantau satu suku beda kota, punya anak dan anaknya pun sudah bersekolah di sini. Mungkin, anaknya pun belum paham satu atau dua kata bahasa Minang sama sekali. Pekerjaan harian Mak Rizal sekaraang ini yaitu membuka rumah makan Padang. Sebuah hal yang cukup rutin terjadi jika kalian berpetualang ke berbagai macam kota di Indonesia. Sebagai orang yang sudah merasakan lidah masakan Padang, tentu hal ini berdampak positif bagiku yang selalu dimasakkan makanan serupa oleh Amak. Begitulah kami panggil Ibu kami dalam bahasa Minang. 

Namun, Mak Rizal sendiri selalu membanggakan bahwa rumah makan Padang miliknya adalah yang paling unik karena dia tidak membanggakan makanan Padang yang cukup medioker namun justru membanggakan teh telur yang menurutnya merupakan minuman kebudayaan yang tidak pernah dibahas ketika membahas tentang kuliner Padang. Sebuah kombinasi antara teh dan telur yang jika kalian seruput justru yang tercipta adalah rasa kokoa yang memberikan sensasi dejavu ketika mencicipi segelas kopi di pagi hari. Amak pun selalu menghidangkan teh telur untuk menambah stamina terutama pada saat aku belajar malam terutama ketika aku belajar waktu mendekati ujian nasional SMA.

Di Yogyakarta sendiri, aku hanya singgah selama tiga hari. Itu juga demi mengikuti wawancara kerja dengan The Indonesian’s Eyes. Sebuah media yang baru saja berdiri kokoh tahun lalu yang sekarang sedang membutuhkan tenaga kontributor yang cukup banyak. Meskipun yang dibutuhkan banyak, bukan berarti peluang untuk diterima pun terbuka lebar. Di beranda kantor Indonesian’s Eyes ini pun, terlihat banyaknya orang yang berminat mendaftar sebagai kontributor, dari hitungan mata, sepertinya hampir ratusan yang diwawancarai di sini. Dan, tentu saja, semua wajah yang tertampang di sini pun tidak ada yang aku kenal. Setelah ditelusuri, ternyata yang mendaftar di sini pun bukan hanya dari Yogyakarta saja. Ada juga yang mendaftar dari luar.

“Selamat pagi, Masbro. Aku Akbar, dari Bandung. Tapi, aslinya sih dari Purwokerto, Mas.”

Begitu pembicaraanku bersama Akbar, sesama pendaftar yang kebetulan tadi datangnya berbarengan. Akbar sendiri ternyata merupakan lulusan Filsafat dari sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Pengalamannya di dunia jurnalistik sendiri sudah terlihat dari beberapa buletin ataupun tulisan online yang dia pamerkan kepadaku. Tidak terhitung jumlahnya, ada yang diterbitkan, ada juga yang tidak jadi terbit.

“Salah satu kesuksesan terbesarku dalam tulis menulis itu ya, Mas. Waktu itu, sempat tulis satu artikel lingkungan gitu, Mas, waktu itu ada kasus gitu di Baturaden. Tulisanku bahkan masuk koran dan mendapatkan respon dari pihak Pemerintah Kota Purwokerto.”

Aku pun ketika itu berdecak kagum spontan mendengar cerita dari Akbar ketika itu. Sepertinya, kelak dalam wawancara, bisa saja editor pun juga ikut kagum dengan apa yang Akbar miliki. Namun, bukan hanya Akbar saja yang bisa membuat para editor terdecak kagum. Mungkin saja, masih banyak pendaftar di sini yang punya prestasi yang membuat editor tersebut tidak perlu bepikir untuk membaca. Mereka mungkin langsung menanyakan gaji bulan pertama bagi orang-orang penuh bakat itu. Dapat dilihat dari beberapa pendaftar membawa dokumen tebal. Mungkin, yang dalam pikiran mereka kala itu adalah mereka ingin membawa sebanyak-banyaknya bukti tulisan dengan harapan dapat diterima di media ini.

Aku pribadi satu aliran dengan mereka, namun mungkin apa yang aku punya tidak sekeren mereka.. Meski sering menulis, tulisanku sayang sekali jarang tertampang di surat kabar ataupun media online. Aku hanya menulis atas indikasi iseng belaka. Aku pun untuk pendaftaran di media ini bahkan hanya mencetak hasil blog serta contoh esai yang dibuat selama 3 jam disertai pecahnya konsentrasi. Mungkin berbeda dengan mereka yang hanya butuh waktu sebentar untuk menghasilkan karya klasik serupa lirik-liriknya Kendrick Lamar yang selalu mengena otak banyak kalangan. Meskipun, bagi mereka, pendaftaran ini serupa hidup dan mati untuk mereka. Lain halnya bagiku, di usia yang cukup muda ini, aku menganggap bahwa kemesraan bersama papan ketuk ataupun pena dan kertas ini hanyalah cara untuk mengungkapkan segala emosi. Namun, sayang, emosi dan pendapat bukanlah sebuah hal yang dapat menjadi bukti ilmiah. Ia hanya keluar dari satu orang saja, bukanlah melalui konsensus persetujuan. Itu pun membuatku cukup pesimis untuk diterima di sini. Namun, aku tetap menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa.

Ah, kenapa mesti berpikir pesimis jika mungkin Dia sudah punya jalan bagiku? Mari kita berdo’a dan bertawakkal

I messed up and you messed up, but if God got us, then we gon’ be alright!

Di tengah-tengah aku sedang asyik meludahi liriknya Kendrick yang cukup mengangkat jiwa ini pun, tiba-tiba, nomor pendaftaran aku pun disebut oleh petugas depan. Aku pun bergegas menuju ruang yang ditunjuk oleh petugas itu untuk melakukan wawancara tersebut

OoOoOoOoOoOoOoO

Ternyata, aku ditempatkan di sebuah ruangan rapat yang cukup luas, disertai dengan meja lonjong. Aku pun dihadapkan dengan dua orang pewawancara yang secara ekspertise tentu melebihi kemampuanku. Pada waktu itu, kami duduk berhadap-hadapan dan terpisah oleh meja lonjong tersebut.

“Silahkan duduk, Mas. Perkenalkan, saya Ari, chief editor dari The Indonesian’s Eyes dan yang bersama saya ini, namanya Mas Joni, kepala HRD dari sini. Sebelumnya, kami ingin mengucapkan selamat kepada anda karena telah terpilih pada seleksi kepenulisan. Kami bermaksud melakukan wawancara untuk mengetahui anda secara lebih ke personal untuk memantapkan kami juga untuk menerima anda sebagai bagian dari kami.”

“Baik, Mas Ari.”

“Sekarang, silahkan anda perkenalkan diri anda sebanyak yang anda bisa.”

“Siap, Mas. Selamat pagi, Mas Ari dan Mas Joko. Perkenalkan, nama lengkap saya Burhandi Jordan Koto. Namun, untuk akta kelahiran, orang tua saya hanya menggunakan dua nama, yaitu Burhandi Jordan saja. Untuk lebih akrabnya, saya bisa dipanggil dengan sebutan Andi. Sekarang, saya berusia 22 tahun dan baru saja menamatkan studi di Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan Agama Islam. Saya di sini berstatus sebagai anak rantau, saya asli dari Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sebuah kota yang berjarak hanya 1 jam dari kota Padang jika menaiki mobil. Saya merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Sekarang ini, ayah saya awalnya bekerja sebagai guru olahraga di kampung, namun sekarang, lebih menggunakan tenaganya untuk bertani, beternak dan mengurus usaha toko kelontong dan laundry bersama ibu saya. Saya bertujuan untuk mendaftarkan diri bekerja di Yogyakarta karena saya pribadi memiliki passion yang bagus dalam menulis yang baru saja saya ketahui 2 tahun lalu. Sehingga, saya ingin mencoba beberapa pekerjaan yang dapat eksplorasi passion saya tersebut. Begitu, Mas.”

“Hmm. Terimakasih, Mas Andi. Mungkin, akan lebih akrab, jika saya panggil Uda Andi kali ya? Hahaha.”

“Saya terserah kok dipanggil apa saja, Mas Joko.”

“Oke siap! Mbok kamu santai aja interviewnya. Kita gak akan nanya soal-soal kuliah kok ini.”

“Mas Andi, terus terang, saya tertarik setelah membaca esai dari anda. Dari hampir semua pendaftar yang esainya saya terima, esai anda terkesan sangat orisinil. Apalagi tema yang anda angkat juga dibawakan dengan baik dan ada sedikit pendekatan yang entah kenapa saya kagumi disini. Bagi Mas Andi sendiri, bagaimana sih pendekatan yang anda lakukan dalam menulis? Karena jika saya perhatikan sendiri, esai anda bahkan artikel opini yang anda sebar di media-media memiliki pendekatan yang terkesan unik.”

“Sebelumnya, terimakasih Mas Ari atas komplimen yang diberikan terhadap tulisan-tulisan saya. Sebenarnya, saya sendiri adalah orang yang paling tidak suka menulis, meskipun saya pribadi suka membaca. Entah itu, membaca koran, majalah atau buku yang bersifat non-fiksi. Orientasi dari saya untuk kuliah sendiri adalah saya ingin menjadi seorang guru atau jika tidak mungkin, saya hanya ingin menjadi pengajar. Pengajar apapun, entah itu siswa, atau bisa juga dengan orang tua sekalipun. Saya hanya punya mimpi untuk menjadi guru. Saya melihat apa yang dilakukan oleh ibu saya secara langsung ketika saya duduk di kelas 4 SD. Ibu saya mengajar dengan ikhlas dan memperlakukan siswa secara adil di kelas. Itu juga yang diterapkan oleh beliau ketika berada di rumah. Dia memperlakukan anak-anaknya dengan adil, jika ada kesalahan, pasti akan menegur dengan tegas.”

“Mmmm. Menarik, namun, apa yang membuat anda beralih fungsi dan ingin menjadi penulis?”

“Terus terang, saya mengalami sebuah hal yang membuat saya ingin jadi penulis. Ketika saya berkuliah di Jakarta, saya waktu itu sedang dalam episode dimana saya mengalami kecanduan pornografi. Setiap minggu, pasti ada satu atau dua episode bagi saya untuk mengakses kebutuhan pornografi tersebut. Hal itu membuat saya merasa lelah, terutama mengingat pada waktu itu, nilai kuliah saya sempat turun dan sempat muncul dalam pikiran, untuk keluar kuliah dan mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan. Ketika itu, seolah saya mulai dirasuki oleh maksiat waktu itu. Untung saja, waktu itu, saya tidak melanjutkan hingga berhubungan seks dengan para penjaja seks ketika itu. Karena, jika saya punya banyak duit, mungkin pada fase itu, saya akan mencoba mampir ke tempat prostitusi dan mempraktekkan apa yang saya lihat di film-film itu. Namun, perlahan-lahan, saya mulai menyadari bahwa siklus setan itu dapat membuat saya lelah dan bosan. Saya pun mulai mencari jalan keluar. Seorang teman yang kebetulan tinggal di Yogyakarta pun menyarankan saya untuk menerapkan terapi menulis. Saya pun mengawali semuanya dari membuat buku harian ibarat waktu SMP atau SMA gitu, namun saya kemas di blog dengan cara yang menarik. Hari demi hari, saya lanjutkan menulis, bahkan saya tidak hanya menuliskan apa yang terjadi, atau apakah ada picuan untuk kembali akses ke pornografi saja. Saya malah meneruskan menulis hal-hal lainnya, entah itu dari buku yang saya baca ataupun sebuah momen yang saya saksikan sendiri, entah itu film, sinetron atau berita terkini. Dari sini, saya mulai menyadari makna dari peribahasa Minangkabau yaitu “Alam Takambang Jadi Guru”. Itulah yang membuat saya menekankan terhadap pendekatan yang bersifat reflektif karena sesuatu yang saya temukan pasti akan meninggalkan sebuah pesan dan kesan yang dapat bermanfaat kelak. Dari sini, saya pun percaya bahwa apa yang saya lihat dan saya alami kelak, akan meninggalkan kesan yang berarti bagi saya kelak.”

“Hmmm. Poin yang menarik. Namun, apa yang membuat anda memutuskan untuk menjadi seorang kontributor ataupun mungkin kelak sebagai jurnalis dari The Indonesian Eyes ini? Dan kenapa mesti THE Indonesian Eyes? Apa tidak ada tempat lain?”

“Kembali ke poin awal, bahwa jurnalis ataupun kontributor sendiri bertugas untuk melaporkan apa yang terjadi di media. Dari situ, orang-orang dapat memiliki pandangan yang berbeda terhadap sebuah peristiwa, entah itu positif ataupun negatif. Sebuah pelaporan tersebut dapat juga memancing sebuah diskusi yang menarik. Saya sendiri memang senang mendengarkan diskusi dari kalangan ramai, menerima pendapat, entah itu yang setuju ataupun yang tidak setuju. Selama disertai dengan opini yang berdasar, dan tidak disertai dengan perasaan benci, saya akan bersiap untuk segala hal. Saya belajar dari semua hal. Begitulah yang terus terang saya maknai dari hidup.”

“Berarti, anda menyimpulkan bahwa anda menjadi penulis, entah apapun itu kelak, anda menulis untuk mengajar?”

“Seperti itu.”

“Kenapa harus The Indonesian Eyes?”

“Saya sendiri melihat media The Indonesian Eyes sendiri sebagai media yang baru, yang bagi saya sangat bagus terutama sebagai media yang juga turut menyediakan ruang bagi para kolumnis untuk mengutarakan opini. Serta, juga bisa merancang sebuah diskusi menarik yang mengundang entah itu para penikmat serta kolumnisnya sendiri. Mas Ari juga bisa melihat bahwa tema tulisan saya juga cukup bervariasi, entah itu dari musik, kesehatan, olahragabahkan sampai budaya ataupun sosial. Karena, terus terang, saya ini berada pada momen dimana saya ingin sebuah positivitas yang dapat disampaikan melalui media Tulisan ini. Lagipula, The Indonesian Eyes sendiri adalah media yang masih tergolong muda sehingga mereka membutuhkan kontributor di beberapa media untuk tumbuh. Saya sendiri cukup bisa membantu dalam menulis review musik ataupun membahas tentang hal berhubungan dengan kesehatan, dua domain yang saya rasa masih belum terkover dengan baik. Mungkin, dengan adanya kolumnis dari beberapa bidang berbeda, saya pun bisa bertukar informasi dengan teman sesama kontributor jika ada hal-hal yang menarik di sini.”

“Hmm. Jawaban yang bagus dan cukup konsisten. Saya sangat suka!”

Kemudian wawancara pun berlanjut dengan pernyataan Mas Joko yang sebenarnya cukup medioker dibandingkan pertanyaan dari Mas Ari tersebut. Selaku kepala HRD, Mas Joko tentu menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan kaderisasi. Terutama, soal kelebihan dan kekurangan diri, serta sifat yang dimiliki, dan lainnya. Pertanyaan yang kerap masuk ketika aku mengikuti beberapa proses rekrutmen, entah itu organisasi kemahasiswaan ataupun sebagai kepengurusan organisasi daerah. Namun, beberapa dapat saya jawab dengan baik, terutama soal gaji. Karena bagiku, gaji bukanlah sebuah hal yang penting. Dia hanyalah sebagai vitamin tambahan. Selama masih bisa menikmati kebutuhan pokok, gaji tidak perlu banyak-banyak mengingat status yang masih berstatus sebagai pemula. Beberapa rintangan dari Mas Joko dan Mas Ari pun sudah dijawab dengan baik, setidaknya sampai pertanyaan terakhir yang membuatku sedikit bingung untuk menjawabnya.

“Jika misalnya, anda tidak diterima di The Indonesian’s Eyes, apa yang akan anda lakukan kelak?”

“Saya sendiri sudah mempersiapkan segala yang terjadi kelak, apapun itu situasi yang ditawarkan ke saya. Saya tentu saja keluar dari ruangan ini sudah dengan tawakal, mengharapkan supaya Tuhan kelak memberikan jalan terbaik bagi saya. Jika memang tidak diterima di kantor ini, berarti usaha saya masih belum berhasil. Saya akan mencari apa yang menjadi titik lemah saya, karena saya sendiri tidak mendaftar di kantor ini saja. Saya mendaftar di beberapa kantor juga, terutama untuk posisi yang berhubungan dengan dunia kepenulisan. Karena, kelak, Tuhan pasti menunjukkan jalan yang terbaik bagi saya.”

“Jawaban yang bagus. Baiklah Mas Andi, wawancara sudah selesai. Terima kasih atas waktunya! Hasil wawancara akan dikirim langsung ke email anda, bagaimana hasilnya. Insya Allah, dua atau tiga hari lagi akan mendarat di e-mail anda.”

OoOoOoOoOoOoOoO

Seperti yang dikatakan tadi, aku pun keluar dari ruang pertemuan itu dengan rasa tawakal. Aku hanya ingin menunjukkan bakat di bidang menulis dan mengubahnya dalam bentuk profesi. Seperti yang dikatakan oleh Pak Ridwan Kamil, bahwa pekerjaan yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar. Jika pun belum berhasil, masih ada jalan lain yang mungkin lebih baik lagi. Aku melihat beberapa orang setelahku masih menunggu dengan berbagai macam wajah, ada yang panik, ada juga yang optimis, ada yang bahkan sampai bolak-balik kamar mandi beberapa kali, entah apa yang masuk dalam pikirannya. Hingga, Akbar, teman yang tadi sempat bertukar pikiran denganku pun bertanya,

“Gimana, Masbro? Wawancaranya?”

“Ya, begitulah, Bro. Kamu sudah kan?”

“Sudah, kok. Tadi, agak deg-degan juga menunggu hasilnya. Kok kamu kayak tenang gini ya?”

“Ya, kan sudah selesai. Mau gimana lagi? Ya masa deg-degan. Pasrah aja deh.”

“Bener nih, Masbro Andi. Yuk, makan dulu atau gimana gitu ya sekalian mengakrabkan diri lah ya.”

Menenangkan diri dari wawancara tersebut, kami pun makan sebentar sembari bertukar nomor kontak dan selfie bareng waktu itu. Ya, kami masih menunggu nasib entah bakal diterima bekerja di tempat rantau kami atau tidak. Beginilah kami, orang yang mencoba merantau bersama tinta.

Semoga tinta-tinta ini membawa kami menuju tempat perantauan kedua ini. Amin.

------------------------------------

Cerpen ini merupakan bagian pertama dari beberapa kumpulan cerpen yang akan saya namakan "Tinta Setelah Penjara", sebagai kompensasi atas kemungkinan saya tidak merilis buku kedua di tahun 2018. Cerpen ini merupakan kelanjutan kisah dari buku pertama saya berjudul "Ketika Di Dalam Penjara. Jika berminat, silahkan kontak saya via WA atau LINE di bawah ini.

WA : 08117752866
LINE : farhanforamen
FB : Farhandika Mursyid

Anda juga dapat menemukan cerpen ini melalui Kompasiana dan Wattpad

Comments

  1. Keren ceritanya, ini cerpennya berdasarkan kisah nyata yaa? Jawaban waktu interviewnya mantap banget jadi penasaran endingnya keterima apa nggak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah! Ada juga yang penasaran, ayuk difollow twitter dan Facebook saya. Instagram juga boleh, akan mungkin ada updatenya juga. Wattpad juga bisa loh, Kak. Aku akan publish selalu di Wattpad dan Kompasiana lanjutan dari cerpen ini.

      NB : Penasaranmu menginspirasiku.

      Delete
  2. karena ceritanya menyinggung tentang penulis/jurnalis, aku kok malah keinget diriku sendiri, merantau ke Medan untuk kuliah, ada masanya dimana aku menggantungkan hidup dengan honor tulisanku, berbekal pengalaman dan pengetahuan yang kudapat saat mengikuti organisasi pers kampus dulu :D

    ReplyDelete
  3. Gak sabar untuk membaca buku kedua nanti.
    Pasti banyak kisah yang bisa dipetik pelajaran atas seseorang yang ingin keluar dari penjara.
    In syaa Allah ketika orang tersebut berjalan mendekati Tuhannya, maka Tuhan akan berlari.

    Jadi jangan mudah berputus asa atas tali pertolongan Allah.

    Semangaat menulis, anak rantau!

    ReplyDelete
    Replies
    1. jangan menunggu, Kak. Masih lama kok, bahkan aku belum berpikir rilis tahun depan. Ingin fokus ke merangkai kata demi kata untuk approach sastra kelak, Kak.

      Mending tungguin cerpenku aja yang bakal dirilis frekuen.

      Delete
  4. Bagus ceritanya. Jadi penasaran juga lanjutan cerpen ini, keterima gak yaa.. hehe..
    Btw sedikit koreksi yaa,
    ada beberapa typo,
    trus ada penyebutan kata ganti orang pertama yang berubah, dari aku ke saya. Hehe.
    Semangat Mas.. semoga saya bisa baca lanjutan ceritanya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sebenarnya soal pergantian kata ganti itu disengaja sih, Mbak. Memang waktu itu sempar ada beberapa koreksi berarti di sana. Tapi, ntar kucoba koreksi lagi ke depannya. Jika mbaknya berkenan, silahkan ikuti saja wattpad atau kompasiana saya.

      Delete
  5. Asikk...suka nih dg judulnya, merantau bersama tinta. Kalau aku kebayang cumi-cumi yg bnyak tinta lho hehe

    ReplyDelete
  6. akhirnya keterima gak?

    saya lebih tertarik perjuangan keluar dari lubang pornografi tersebut. Seorang teman masih berjuang untuk keluar dari siklus masturbasi. Saya pun menawarkan terapi mewarnai, karena warna dapat mengambil alih kegiatan otak yang sudah menjadi siklus paten

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hmm. Sebenarnya, terapi yang cocok itu lebih ke memanfaatkan apa yang kita suka sih. Mau terapi mewarnai boleh, mau yang lain juga boleh. Ada yang menulis, ada juga yang justru bikin vlog YouTube. Selama itu produktif dan tidak menganggu kepentingan orang, ya oke-oke aja kok.

      Delete
  7. Dua paragraf pertama agak membosankan menurut saya.
    Terus kalimatnya kurang efektif agak lelah bacanya.

    Saran aja untuk memerhatikan tanda baca dan buat kalimat jangan terlalu panjang dulu. Impresi sebuah cerpen bagus tidaknya biasanya di 2 paragraf pertama.

    Ini cuman saran aja yah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saran diterima, Mas. Terimakasih sebelumnya. Entar untuk cerpen ke depan, akan ditingkatkan lebih baik lagi.

      Delete
  8. Menggwlitik banget nih yang soal usaha untuk keluar dari jaringan pornografi.

    Btw, cerpen ini khas Padang, ya, perantauan. Semoga bisa bersinar kayak mas Ahmad Fuadi.

    Kutunggu lanjutannya ya, Kak.

    ReplyDelete
  9. wah bener nich merantau bersama tinta. belum pernah sich, cuma kalau sekarang aku merantau ditemani tinta hahaha

    ReplyDelete
  10. Ah, rumah makan padang itu sangat berjasa di jogjakarta. Ketika saya nggak bisa makan makanan lokal jawa, ada warung padang dg harga rupa2. Tapi paling cocok di lidah adalah yg di jakal km 5 samping gading mas. Meski harganya di atas rata2, saya kesana sampai enam kali dalam seminggu setidaknya

    ReplyDelete
  11. Waktu bagian wawancara, jadi ingat waktu dulu wawancara cari kerja di perusahaan. Tapi jawaban Mas Farhan lebih mantaap... Hehehe.
    Cerpen ini, berdasarkan pengalaman nyatakah?

    ReplyDelete
  12. Uwaaaaa aku nggak nyangka dikasih cuplikannya di sini

    Kalau nggak dikasih tau di akhir tulisan tentang kelanjutan buku kedua, mungkin aku nggak akan paham dan nyantol kalo ini kelanjutannya

    Padahal udah ngerasa ada yang sama atau benang merah dari beberapa tulisan lalu, hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaah.. kamu perhatian sekali kak sama tulisanku. Tenang kok. Buku keduanya akan disakikan secara gratis di sini.

      Delete
  13. Ini cerpen tpi kisah nyata kan? 😁 Kalo beneran iya, selamat datang di Jogja, kota aku mengadu nasib. Semoga keterima dan betah.

    ReplyDelete
  14. Ini ceritanya based on true story kah? Saya malah tertarik dengan pembahasan teh talua. Emang jarang dibahas, kalah populer sama randang. :))

    ReplyDelete
  15. Ada beberapa kata yang tidak lazim digunakan dalam percakapan di atas. Entah kenapa kesan yang saya dapatkan lucu, karena ada kalimat "Seperti itu," saya ingat mama saya yang meniru artis mengatakan hal begitu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, Kak atas feedbacknya. Entar saya coba lihat lagi untuk cerpen ke depan.

      Delete
  16. Dima piamab e' diak ?
    Samo wak mah ..
    Ambo piaman pulo

    Btw.. Bagus cerpennya
    Tapi sesi wawancara terlalu lama menurut saya
    Dulu saya saat masuk kerja jd jurnalis tak banyak tanya gitu soalnya
    Tp mungkin beda perusahaan yav

    ReplyDelete
    Replies
    1. waah. sejujurnya, aku belum riset lebih dalam sih ini, Mbak. Hahaha.

      Delete
  17. Ide cerita pendeknya unik kak. Dan Widya selalu suka dengan cerita yang mengangkat perjuangan kehidupan. Bikin kita jadi lebih banyak bersyukur dan pastinya banyak banget pelajaran hidup yang ada. Pas bagian wawancaranya, aku suka banget kak. Semua pertanyaan dijawab dengan kemantapan hati :D

    ReplyDelete
  18. Penasaran sama endingnya akhirnya gmn?
    Saya suka membaca cerita2 ttg kehidupan merantau. Bagi saya org yg berani keluar "kandang" itu berani menempuh risiko dan artinya mau maju :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaah.. ada yang penasaran. Ditunggu aja deh. Semoga bisa rilis secepatnya.

      Delete

Post a Comment

Terimakasih telah mengunjungi blog pribadi saya. Jika suka, jangan sungkan-sungkan lho untuk berkomentar. Salam kenal!

Popular posts from this blog

Cerita Buruk di Sepertiga Terakhir Malam

sebuah reuni | detik-detik terakhirmu

Puisi | Menanti Waktu Berhenti