Cerpen | Merantau Bersama Tinta
Karantau madang di
hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di kampuang paguno balun
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di kampuang paguno balun
Perantauan episode kedua pun dimulai! Kali ini, aku merantau
lagi ke tempat yang lebih jauh dari kampung halamanku di Padang. Setelah
menghabiskan waktu empat tahun di Jakarta mempelajari tata cara menulis dengan
baik, membaca ratusan buku dengan berbagai jumlah halaman, menerima pemasukan duit
dari orang tua yang pasang surut, mencari kertas-kertas tambahan dengan menjadi
kuli tinta. Akhirnya, aku pun mencoba peruntungan untuk bekerja tetap di
Yogyakarta. Sebuah kota yang kerap disebut sebagai kota pelajar. Salah satu
teman kuliahku sering bercerita tentang indahnya kota Yogyakarta ini. Entah itu
dari murahnya makanan di sana, ataupun dari ramainya aliran kreativitas di
sana, atau juga dari kentalnya budaya Jawa di kota tersebut yang mulai dihiasi
dengan suasana keberagaman yang dibawa oleh para perantau.
Hari ini merupakan hari kedua aku di Yogyakarta. Sebelumnya,
aku memutuskan untuk tinggal bersama Mak Rizal. Adik dari ibuku yang sudaah
menghabiskan 10 tahun hidupnya di sini, sudah menikah dengan sesama perantau
satu suku beda kota, punya anak dan anaknya pun sudah bersekolah di sini.
Mungkin, anaknya pun belum paham satu atau dua kata bahasa Minang sama sekali. Pekerjaan
harian Mak Rizal sekaraang ini yaitu membuka rumah makan Padang. Sebuah hal
yang cukup rutin terjadi jika kalian berpetualang ke berbagai macam kota di
Indonesia. Sebagai orang yang sudah merasakan lidah masakan Padang, tentu hal
ini berdampak positif bagiku yang selalu dimasakkan makanan serupa oleh Amak.
Begitulah kami panggil Ibu kami dalam bahasa Minang.
Namun, Mak Rizal sendiri
selalu membanggakan bahwa rumah makan Padang miliknya adalah yang paling unik
karena dia tidak membanggakan makanan Padang yang cukup medioker namun justru
membanggakan teh telur yang menurutnya merupakan minuman kebudayaan yang tidak
pernah dibahas ketika membahas tentang kuliner Padang. Sebuah kombinasi antara
teh dan telur yang jika kalian seruput justru yang tercipta adalah rasa kokoa
yang memberikan sensasi dejavu ketika mencicipi segelas kopi di pagi hari. Amak
pun selalu menghidangkan teh telur untuk menambah stamina terutama pada saat aku
belajar malam terutama ketika aku belajar waktu mendekati ujian nasional SMA.
Di Yogyakarta sendiri, aku hanya singgah selama tiga hari.
Itu juga demi mengikuti wawancara kerja dengan The Indonesian’s Eyes. Sebuah
media yang baru saja berdiri kokoh tahun lalu yang sekarang sedang membutuhkan
tenaga kontributor yang cukup banyak. Meskipun yang dibutuhkan banyak, bukan
berarti peluang untuk diterima pun terbuka lebar. Di beranda kantor
Indonesian’s Eyes ini pun, terlihat banyaknya orang yang berminat mendaftar
sebagai kontributor, dari hitungan mata, sepertinya hampir ratusan yang
diwawancarai di sini. Dan, tentu saja, semua wajah yang tertampang di sini pun
tidak ada yang aku kenal. Setelah ditelusuri, ternyata yang mendaftar di sini
pun bukan hanya dari Yogyakarta saja. Ada juga yang mendaftar dari luar.
“Selamat pagi, Masbro. Aku Akbar, dari Bandung. Tapi,
aslinya sih dari Purwokerto, Mas.”
Begitu pembicaraanku bersama Akbar, sesama pendaftar yang
kebetulan tadi datangnya berbarengan. Akbar sendiri ternyata merupakan lulusan
Filsafat dari sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Pengalamannya di dunia
jurnalistik sendiri sudah terlihat dari beberapa buletin ataupun tulisan online
yang dia pamerkan kepadaku. Tidak terhitung jumlahnya, ada yang diterbitkan,
ada juga yang tidak jadi terbit.
“Salah satu kesuksesan terbesarku dalam tulis menulis itu
ya, Mas. Waktu itu, sempat tulis satu artikel lingkungan gitu, Mas, waktu itu
ada kasus gitu di Baturaden. Tulisanku bahkan masuk koran dan mendapatkan
respon dari pihak Pemerintah Kota Purwokerto.”
Aku pun ketika itu berdecak kagum spontan mendengar cerita
dari Akbar ketika itu. Sepertinya, kelak dalam wawancara, bisa saja editor pun
juga ikut kagum dengan apa yang Akbar miliki. Namun, bukan hanya Akbar saja
yang bisa membuat para editor terdecak kagum. Mungkin saja, masih banyak
pendaftar di sini yang punya prestasi yang membuat editor tersebut tidak perlu
bepikir untuk membaca. Mereka mungkin langsung menanyakan gaji bulan pertama
bagi orang-orang penuh bakat itu. Dapat dilihat dari beberapa pendaftar membawa
dokumen tebal. Mungkin, yang dalam pikiran mereka kala itu adalah mereka ingin
membawa sebanyak-banyaknya bukti tulisan dengan harapan dapat diterima di media
ini.
Aku pribadi satu aliran dengan mereka, namun mungkin apa
yang aku punya tidak sekeren mereka.. Meski sering menulis, tulisanku sayang
sekali jarang tertampang di surat kabar ataupun media online. Aku hanya menulis
atas indikasi iseng belaka. Aku pun untuk pendaftaran di media ini bahkan hanya
mencetak hasil blog serta contoh esai yang dibuat selama 3 jam disertai
pecahnya konsentrasi. Mungkin berbeda dengan mereka yang hanya butuh waktu
sebentar untuk menghasilkan karya klasik serupa lirik-liriknya Kendrick Lamar
yang selalu mengena otak banyak kalangan. Meskipun, bagi mereka, pendaftaran
ini serupa hidup dan mati untuk mereka. Lain halnya bagiku, di usia yang cukup
muda ini, aku menganggap bahwa kemesraan bersama papan ketuk ataupun pena dan
kertas ini hanyalah cara untuk mengungkapkan segala emosi. Namun, sayang, emosi
dan pendapat bukanlah sebuah hal yang dapat menjadi bukti ilmiah. Ia hanya
keluar dari satu orang saja, bukanlah melalui konsensus persetujuan. Itu pun
membuatku cukup pesimis untuk diterima di sini. Namun, aku tetap menyerahkan
segalanya kepada Yang Maha Kuasa.
Ah, kenapa mesti berpikir pesimis jika mungkin Dia sudah
punya jalan bagiku? Mari kita berdo’a dan bertawakkal
I messed up and you
messed up, but if God got us, then we gon’ be alright!
Di tengah-tengah aku sedang asyik meludahi liriknya Kendrick
yang cukup mengangkat jiwa ini pun, tiba-tiba, nomor pendaftaran aku pun
disebut oleh petugas depan. Aku pun bergegas menuju ruang yang ditunjuk oleh
petugas itu untuk melakukan wawancara tersebut
OoOoOoOoOoOoOoO
Ternyata, aku ditempatkan di sebuah ruangan rapat yang cukup
luas, disertai dengan meja lonjong. Aku pun dihadapkan dengan dua orang
pewawancara yang secara ekspertise tentu melebihi kemampuanku. Pada waktu itu,
kami duduk berhadap-hadapan dan terpisah oleh meja lonjong tersebut.
“Silahkan duduk, Mas. Perkenalkan, saya Ari, chief editor
dari The Indonesian’s Eyes dan yang bersama saya ini, namanya Mas Joni, kepala
HRD dari sini. Sebelumnya, kami ingin mengucapkan selamat kepada anda karena
telah terpilih pada seleksi kepenulisan. Kami bermaksud melakukan wawancara
untuk mengetahui anda secara lebih ke personal untuk memantapkan kami juga
untuk menerima anda sebagai bagian dari kami.”
“Baik, Mas Ari.”
“Sekarang, silahkan anda perkenalkan diri anda sebanyak yang
anda bisa.”
“Siap, Mas. Selamat pagi, Mas Ari dan Mas Joko. Perkenalkan,
nama lengkap saya Burhandi Jordan Koto. Namun, untuk akta kelahiran, orang tua
saya hanya menggunakan dua nama, yaitu Burhandi Jordan saja. Untuk lebih akrabnya,
saya bisa dipanggil dengan sebutan Andi. Sekarang, saya berusia 22 tahun dan
baru saja menamatkan studi di Universitas Negeri Jakarta jurusan Pendidikan
Agama Islam. Saya di sini berstatus sebagai anak rantau, saya asli dari
Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Sebuah kota yang berjarak hanya 1
jam dari kota Padang jika menaiki mobil. Saya merupakan anak sulung dari tiga
bersaudara. Sekarang ini, ayah saya awalnya bekerja sebagai guru olahraga di
kampung, namun sekarang, lebih menggunakan tenaganya untuk bertani, beternak
dan mengurus usaha toko kelontong dan laundry bersama ibu saya. Saya bertujuan untuk mendaftarkan
diri bekerja di Yogyakarta karena saya pribadi memiliki passion yang bagus
dalam menulis yang baru saja saya ketahui 2 tahun lalu. Sehingga, saya ingin mencoba
beberapa pekerjaan yang dapat eksplorasi passion saya tersebut. Begitu, Mas.”
“Hmm. Terimakasih, Mas Andi. Mungkin, akan lebih akrab, jika
saya panggil Uda Andi kali ya? Hahaha.”
“Saya terserah kok dipanggil apa saja, Mas Joko.”
“Oke siap! Mbok kamu santai aja interviewnya. Kita gak akan
nanya soal-soal kuliah kok ini.”
“Mas Andi, terus terang, saya tertarik setelah membaca esai
dari anda. Dari hampir semua pendaftar yang esainya saya terima, esai anda
terkesan sangat orisinil. Apalagi tema yang anda angkat juga dibawakan dengan
baik dan ada sedikit pendekatan yang entah kenapa saya kagumi disini. Bagi Mas
Andi sendiri, bagaimana sih pendekatan yang anda lakukan dalam menulis? Karena
jika saya perhatikan sendiri, esai anda bahkan artikel opini yang anda sebar di
media-media memiliki pendekatan yang terkesan unik.”
“Sebelumnya, terimakasih Mas Ari atas komplimen yang
diberikan terhadap tulisan-tulisan saya. Sebenarnya, saya sendiri adalah orang
yang paling tidak suka menulis, meskipun saya pribadi suka membaca. Entah itu,
membaca koran, majalah atau buku yang bersifat non-fiksi. Orientasi dari saya
untuk kuliah sendiri adalah saya ingin menjadi seorang guru atau jika tidak
mungkin, saya hanya ingin menjadi pengajar. Pengajar apapun, entah itu siswa, atau
bisa juga dengan orang tua sekalipun. Saya hanya punya mimpi untuk menjadi
guru. Saya melihat apa yang dilakukan oleh ibu saya secara langsung ketika saya
duduk di kelas 4 SD. Ibu saya mengajar dengan ikhlas dan memperlakukan siswa
secara adil di kelas. Itu juga yang diterapkan oleh beliau ketika berada di
rumah. Dia memperlakukan anak-anaknya dengan adil, jika ada kesalahan, pasti
akan menegur dengan tegas.”
“Mmmm. Menarik, namun, apa yang membuat anda beralih fungsi
dan ingin menjadi penulis?”
“Terus terang, saya mengalami sebuah hal yang membuat saya
ingin jadi penulis. Ketika saya berkuliah di Jakarta, saya waktu itu sedang
dalam episode dimana saya mengalami kecanduan pornografi. Setiap minggu, pasti
ada satu atau dua episode bagi saya untuk mengakses kebutuhan pornografi
tersebut. Hal itu membuat saya merasa lelah, terutama mengingat pada waktu itu,
nilai kuliah saya sempat turun dan sempat muncul dalam pikiran, untuk keluar
kuliah dan mencari pekerjaan yang bisa menghasilkan. Ketika itu, seolah saya mulai
dirasuki oleh maksiat waktu itu. Untung saja, waktu itu, saya tidak melanjutkan
hingga berhubungan seks dengan para penjaja seks ketika itu. Karena, jika saya
punya banyak duit, mungkin pada fase itu, saya akan mencoba mampir ke tempat
prostitusi dan mempraktekkan apa yang saya lihat di film-film itu. Namun,
perlahan-lahan, saya mulai menyadari bahwa siklus setan itu dapat membuat saya
lelah dan bosan. Saya pun mulai mencari jalan keluar. Seorang teman yang
kebetulan tinggal di Yogyakarta pun menyarankan saya untuk menerapkan terapi
menulis. Saya pun mengawali semuanya dari membuat buku harian ibarat waktu SMP
atau SMA gitu, namun saya kemas di blog dengan cara yang menarik. Hari demi
hari, saya lanjutkan menulis, bahkan saya tidak hanya menuliskan apa yang
terjadi, atau apakah ada picuan untuk kembali akses ke pornografi saja. Saya
malah meneruskan menulis hal-hal lainnya, entah itu dari buku yang saya baca
ataupun sebuah momen yang saya saksikan sendiri, entah itu film, sinetron atau
berita terkini. Dari sini, saya mulai menyadari makna dari peribahasa
Minangkabau yaitu “Alam Takambang Jadi Guru”. Itulah yang membuat saya
menekankan terhadap pendekatan yang bersifat reflektif karena sesuatu yang saya
temukan pasti akan meninggalkan sebuah pesan dan kesan yang dapat bermanfaat
kelak. Dari sini, saya pun percaya bahwa apa yang saya lihat dan
saya alami kelak, akan meninggalkan kesan yang berarti bagi saya kelak.”
“Hmmm. Poin yang menarik. Namun, apa yang membuat anda
memutuskan untuk menjadi seorang kontributor ataupun mungkin kelak sebagai
jurnalis dari The Indonesian Eyes ini? Dan kenapa mesti THE Indonesian Eyes?
Apa tidak ada tempat lain?”
“Kembali ke poin awal, bahwa jurnalis ataupun kontributor
sendiri bertugas untuk melaporkan apa yang terjadi di media. Dari situ,
orang-orang dapat memiliki pandangan yang berbeda terhadap sebuah peristiwa,
entah itu positif ataupun negatif. Sebuah pelaporan tersebut dapat juga
memancing sebuah diskusi yang menarik. Saya sendiri memang senang mendengarkan
diskusi dari kalangan ramai, menerima pendapat, entah itu yang setuju ataupun
yang tidak setuju. Selama disertai dengan opini yang berdasar, dan tidak
disertai dengan perasaan benci, saya akan bersiap untuk segala hal. Saya
belajar dari semua hal. Begitulah yang terus terang saya maknai dari hidup.”
“Berarti, anda menyimpulkan bahwa anda menjadi penulis,
entah apapun itu kelak, anda menulis untuk mengajar?”
“Seperti itu.”
“Kenapa harus The Indonesian Eyes?”
“Saya sendiri melihat media The Indonesian Eyes sendiri sebagai
media yang baru, yang bagi saya sangat bagus terutama sebagai media yang juga
turut menyediakan ruang bagi para kolumnis untuk mengutarakan opini. Serta,
juga bisa merancang sebuah diskusi menarik yang mengundang entah itu para
penikmat serta kolumnisnya sendiri. Mas Ari juga bisa melihat bahwa tema
tulisan saya juga cukup bervariasi, entah itu dari musik, kesehatan,
olahragabahkan sampai budaya ataupun sosial. Karena, terus terang, saya ini
berada pada momen dimana saya ingin sebuah positivitas yang dapat disampaikan
melalui media Tulisan ini. Lagipula, The Indonesian Eyes sendiri adalah media
yang masih tergolong muda sehingga mereka membutuhkan kontributor di beberapa
media untuk tumbuh. Saya sendiri cukup bisa membantu dalam menulis review musik
ataupun membahas tentang hal berhubungan dengan kesehatan, dua domain yang saya
rasa masih belum terkover dengan baik. Mungkin, dengan adanya kolumnis dari
beberapa bidang berbeda, saya pun bisa bertukar informasi dengan teman sesama
kontributor jika ada hal-hal yang menarik di sini.”
“Hmm. Jawaban yang bagus dan cukup konsisten. Saya sangat
suka!”
Kemudian wawancara pun berlanjut dengan pernyataan Mas Joko
yang sebenarnya cukup medioker dibandingkan pertanyaan dari Mas Ari tersebut.
Selaku kepala HRD, Mas Joko tentu menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan
kaderisasi. Terutama, soal kelebihan dan kekurangan diri, serta sifat yang
dimiliki, dan lainnya. Pertanyaan yang kerap masuk ketika aku mengikuti
beberapa proses rekrutmen, entah itu organisasi kemahasiswaan ataupun sebagai
kepengurusan organisasi daerah. Namun, beberapa dapat saya jawab dengan baik,
terutama soal gaji. Karena bagiku, gaji bukanlah sebuah hal yang penting. Dia
hanyalah sebagai vitamin tambahan. Selama masih bisa menikmati kebutuhan pokok,
gaji tidak perlu banyak-banyak mengingat status yang masih berstatus sebagai pemula.
Beberapa rintangan dari Mas Joko dan Mas Ari pun sudah dijawab dengan baik,
setidaknya sampai pertanyaan terakhir yang membuatku sedikit bingung untuk
menjawabnya.
“Jika misalnya, anda tidak diterima di The Indonesian’s
Eyes, apa yang akan anda lakukan kelak?”
“Saya sendiri sudah mempersiapkan segala yang terjadi kelak,
apapun itu situasi yang ditawarkan ke saya. Saya tentu saja keluar dari ruangan
ini sudah dengan tawakal, mengharapkan supaya Tuhan kelak memberikan jalan
terbaik bagi saya. Jika memang tidak diterima di kantor ini, berarti usaha saya
masih belum berhasil. Saya akan mencari apa yang menjadi titik lemah saya,
karena saya sendiri tidak mendaftar di kantor ini saja. Saya mendaftar di
beberapa kantor juga, terutama untuk posisi yang berhubungan dengan dunia
kepenulisan. Karena, kelak, Tuhan pasti menunjukkan jalan yang terbaik bagi
saya.”
“Jawaban yang bagus. Baiklah Mas Andi, wawancara sudah
selesai. Terima kasih atas waktunya! Hasil wawancara akan dikirim langsung ke
email anda, bagaimana hasilnya. Insya Allah, dua atau tiga hari lagi akan
mendarat di e-mail anda.”
OoOoOoOoOoOoOoO
Seperti yang dikatakan tadi, aku pun keluar dari ruang
pertemuan itu dengan rasa tawakal. Aku hanya ingin menunjukkan bakat di bidang
menulis dan mengubahnya dalam bentuk profesi. Seperti yang dikatakan oleh Pak
Ridwan Kamil, bahwa pekerjaan yang menyenangkan adalah hobi yang dibayar. Jika
pun belum berhasil, masih ada jalan lain yang mungkin lebih baik lagi. Aku melihat
beberapa orang setelahku masih menunggu dengan berbagai macam wajah, ada yang
panik, ada juga yang optimis, ada yang bahkan sampai bolak-balik kamar mandi
beberapa kali, entah apa yang masuk dalam pikirannya. Hingga, Akbar, teman yang
tadi sempat bertukar pikiran denganku pun bertanya,
“Gimana, Masbro? Wawancaranya?”
“Ya, begitulah, Bro. Kamu sudah kan?”
“Sudah, kok. Tadi, agak deg-degan juga menunggu hasilnya.
Kok kamu kayak tenang gini ya?”
“Ya, kan sudah selesai. Mau gimana lagi? Ya masa deg-degan.
Pasrah aja deh.”
“Bener nih, Masbro Andi. Yuk, makan dulu atau gimana gitu ya
sekalian mengakrabkan diri lah ya.”
Menenangkan diri dari wawancara tersebut, kami pun makan
sebentar sembari bertukar nomor kontak dan selfie bareng waktu itu. Ya, kami
masih menunggu nasib entah bakal diterima bekerja di tempat rantau kami atau
tidak. Beginilah kami, orang yang mencoba merantau bersama tinta.
Semoga tinta-tinta ini membawa kami menuju tempat perantauan
kedua ini. Amin.
------------------------------------
Cerpen ini merupakan bagian pertama dari beberapa kumpulan cerpen yang akan saya namakan "Tinta Setelah Penjara", sebagai kompensasi atas kemungkinan saya tidak merilis buku kedua di tahun 2018. Cerpen ini merupakan kelanjutan kisah dari buku pertama saya berjudul "Ketika Di Dalam Penjara. Jika berminat, silahkan kontak saya via WA atau LINE di bawah ini.
WA : 08117752866
LINE : farhanforamen
FB : Farhandika Mursyid
Anda juga dapat menemukan cerpen ini melalui Kompasiana dan Wattpad
------------------------------------
Cerpen ini merupakan bagian pertama dari beberapa kumpulan cerpen yang akan saya namakan "Tinta Setelah Penjara", sebagai kompensasi atas kemungkinan saya tidak merilis buku kedua di tahun 2018. Cerpen ini merupakan kelanjutan kisah dari buku pertama saya berjudul "Ketika Di Dalam Penjara. Jika berminat, silahkan kontak saya via WA atau LINE di bawah ini.
WA : 08117752866
LINE : farhanforamen
FB : Farhandika Mursyid
Anda juga dapat menemukan cerpen ini melalui Kompasiana dan Wattpad
Keren ceritanya, ini cerpennya berdasarkan kisah nyata yaa? Jawaban waktu interviewnya mantap banget jadi penasaran endingnya keterima apa nggak
ReplyDeleteWah! Ada juga yang penasaran, ayuk difollow twitter dan Facebook saya. Instagram juga boleh, akan mungkin ada updatenya juga. Wattpad juga bisa loh, Kak. Aku akan publish selalu di Wattpad dan Kompasiana lanjutan dari cerpen ini.
DeleteNB : Penasaranmu menginspirasiku.
karena ceritanya menyinggung tentang penulis/jurnalis, aku kok malah keinget diriku sendiri, merantau ke Medan untuk kuliah, ada masanya dimana aku menggantungkan hidup dengan honor tulisanku, berbekal pengalaman dan pengetahuan yang kudapat saat mengikuti organisasi pers kampus dulu :D
ReplyDeleteGak sabar untuk membaca buku kedua nanti.
ReplyDeletePasti banyak kisah yang bisa dipetik pelajaran atas seseorang yang ingin keluar dari penjara.
In syaa Allah ketika orang tersebut berjalan mendekati Tuhannya, maka Tuhan akan berlari.
Jadi jangan mudah berputus asa atas tali pertolongan Allah.
Semangaat menulis, anak rantau!
jangan menunggu, Kak. Masih lama kok, bahkan aku belum berpikir rilis tahun depan. Ingin fokus ke merangkai kata demi kata untuk approach sastra kelak, Kak.
DeleteMending tungguin cerpenku aja yang bakal dirilis frekuen.
Bagus ceritanya. Jadi penasaran juga lanjutan cerpen ini, keterima gak yaa.. hehe..
ReplyDeleteBtw sedikit koreksi yaa,
ada beberapa typo,
trus ada penyebutan kata ganti orang pertama yang berubah, dari aku ke saya. Hehe.
Semangat Mas.. semoga saya bisa baca lanjutan ceritanya :)
Sebenarnya soal pergantian kata ganti itu disengaja sih, Mbak. Memang waktu itu sempar ada beberapa koreksi berarti di sana. Tapi, ntar kucoba koreksi lagi ke depannya. Jika mbaknya berkenan, silahkan ikuti saja wattpad atau kompasiana saya.
DeleteAsikk...suka nih dg judulnya, merantau bersama tinta. Kalau aku kebayang cumi-cumi yg bnyak tinta lho hehe
ReplyDeleteakhirnya keterima gak?
ReplyDeletesaya lebih tertarik perjuangan keluar dari lubang pornografi tersebut. Seorang teman masih berjuang untuk keluar dari siklus masturbasi. Saya pun menawarkan terapi mewarnai, karena warna dapat mengambil alih kegiatan otak yang sudah menjadi siklus paten
Hmm. Sebenarnya, terapi yang cocok itu lebih ke memanfaatkan apa yang kita suka sih. Mau terapi mewarnai boleh, mau yang lain juga boleh. Ada yang menulis, ada juga yang justru bikin vlog YouTube. Selama itu produktif dan tidak menganggu kepentingan orang, ya oke-oke aja kok.
DeleteDua paragraf pertama agak membosankan menurut saya.
ReplyDeleteTerus kalimatnya kurang efektif agak lelah bacanya.
Saran aja untuk memerhatikan tanda baca dan buat kalimat jangan terlalu panjang dulu. Impresi sebuah cerpen bagus tidaknya biasanya di 2 paragraf pertama.
Ini cuman saran aja yah
Saran diterima, Mas. Terimakasih sebelumnya. Entar untuk cerpen ke depan, akan ditingkatkan lebih baik lagi.
DeleteMenggwlitik banget nih yang soal usaha untuk keluar dari jaringan pornografi.
ReplyDeleteBtw, cerpen ini khas Padang, ya, perantauan. Semoga bisa bersinar kayak mas Ahmad Fuadi.
Kutunggu lanjutannya ya, Kak.
wah bener nich merantau bersama tinta. belum pernah sich, cuma kalau sekarang aku merantau ditemani tinta hahaha
ReplyDeleteAh, rumah makan padang itu sangat berjasa di jogjakarta. Ketika saya nggak bisa makan makanan lokal jawa, ada warung padang dg harga rupa2. Tapi paling cocok di lidah adalah yg di jakal km 5 samping gading mas. Meski harganya di atas rata2, saya kesana sampai enam kali dalam seminggu setidaknya
ReplyDeleteWaktu bagian wawancara, jadi ingat waktu dulu wawancara cari kerja di perusahaan. Tapi jawaban Mas Farhan lebih mantaap... Hehehe.
ReplyDeleteCerpen ini, berdasarkan pengalaman nyatakah?
Mas Farhan? Kok bisa?
DeleteUwaaaaa aku nggak nyangka dikasih cuplikannya di sini
ReplyDeleteKalau nggak dikasih tau di akhir tulisan tentang kelanjutan buku kedua, mungkin aku nggak akan paham dan nyantol kalo ini kelanjutannya
Padahal udah ngerasa ada yang sama atau benang merah dari beberapa tulisan lalu, hehe
Waaah.. kamu perhatian sekali kak sama tulisanku. Tenang kok. Buku keduanya akan disakikan secara gratis di sini.
DeleteIni cerpen tpi kisah nyata kan? 😁 Kalo beneran iya, selamat datang di Jogja, kota aku mengadu nasib. Semoga keterima dan betah.
ReplyDeleteIni ceritanya based on true story kah? Saya malah tertarik dengan pembahasan teh talua. Emang jarang dibahas, kalah populer sama randang. :))
ReplyDeletemmm... we'll see later.
DeleteAda beberapa kata yang tidak lazim digunakan dalam percakapan di atas. Entah kenapa kesan yang saya dapatkan lucu, karena ada kalimat "Seperti itu," saya ingat mama saya yang meniru artis mengatakan hal begitu.
ReplyDeleteMakasih, Kak atas feedbacknya. Entar saya coba lihat lagi untuk cerpen ke depan.
DeleteDima piamab e' diak ?
ReplyDeleteSamo wak mah ..
Ambo piaman pulo
Btw.. Bagus cerpennya
Tapi sesi wawancara terlalu lama menurut saya
Dulu saya saat masuk kerja jd jurnalis tak banyak tanya gitu soalnya
Tp mungkin beda perusahaan yav
waah. sejujurnya, aku belum riset lebih dalam sih ini, Mbak. Hahaha.
DeleteIde cerita pendeknya unik kak. Dan Widya selalu suka dengan cerita yang mengangkat perjuangan kehidupan. Bikin kita jadi lebih banyak bersyukur dan pastinya banyak banget pelajaran hidup yang ada. Pas bagian wawancaranya, aku suka banget kak. Semua pertanyaan dijawab dengan kemantapan hati :D
ReplyDeleteWaah..
DeletePenasaran sama endingnya akhirnya gmn?
ReplyDeleteSaya suka membaca cerita2 ttg kehidupan merantau. Bagi saya org yg berani keluar "kandang" itu berani menempuh risiko dan artinya mau maju :D
Waaah.. ada yang penasaran. Ditunggu aja deh. Semoga bisa rilis secepatnya.
Delete