Cerpen | Nostalgia Itu Bernama Kutukan


Nak, selalu ingek pesan amak yo. Bajalan paliharolah kaki, bakato paliharolah lidah.

Tiga hari perjalanan ke Yogyakarta memang terasa melelahkan. Namun, lelah itu masih dapat tersampul dengan ramahnya suasana Kota Pelajar. Sekarang, sudah saatnya untuk kembali menghirup udara Jakarta. Kota yang sangat keras, ramai, dan selalu memberikan tantangan bagi orang yang memasukinya. Menurut pernyataan Bang Ari, hari ini akan diumumkan siapa saja yang lolos dari proses rekrutmen The Indonesian Eyes. Entah apa yang membuatku yakin meskipun hati kecil merasa panik dengan pengumuman tersebut. Pagi ini, sebenarnya aku diundang untuk sesi wawancara kerja dengan sebuah surat kabar lokal di Jakarta untuk posisi wartawan. Namun, entah kenapa, karena tubuhku sedang kurang fit, aku memutuskan untuk tidak mengikuti sesi itu.
Apakah ini tanda bahwa aku akan diterima atau mungkin ada sesuatu yang buruk? Hanya waktu yang bisa menjawabnya kelak.

Sesampainya di kosan, aku langsung habiskan waktu dengan istirahat. Benar-benar, sejak kemarin tonsillitis ini mulai memaksaku untuk terkapar di kasur. Cukup beruntung karena aku masih dalam keadaan fit ketika menjalani sesi wawancara di Yogyakarta. Aku pun mulai memasukkan dua jenis obat yang sering dibawa, yaitu Ibuprofen dan Antibiotik ke saluran pencernaan. Namun, istirahatku mulai terganggu karena adanya godaan dari berbagai chat yang masuk ke telpon genggam. Chat yang terkesan biasa, sampai ada sebuah chat yang benar-benar menggairahkan untuk diladeni.

“Andi, lo ikut wawancara The Indonesian Eyes?”

“Iya, kok tau? Ini siapa?”

“Ini Tino, temen lo waktu S1 dulu. Gimana kabar lo?”

“Oh, baik kok gue. Kok gue ga ngelihat lo ya pas di sana?”

“Ya, kaga tau lah. Bodoh banget sih lo. Lo masih ga berubah ya sejak S1, polos-polos nyebelin gitu.”

“Haha.”

“Anjir lo ketawa. Hati-hati ya, lo masih berada dalam kutukan Haris. Awas aja kalo  entar lolos, gue bakal sebarin aib-aib lo. Tapi, mana mungkin orang kayak lo itu lolos. Kan, gue masih penulis paling hebat di kampus. Palingan juga, Bang Ari nganggep wawancara lo itu sampah. Dokumen lainnya juga.

“Iya deh. Kita lihat aja ntar gimana hasilnya.”

“Halah, ga usah sok-sok tawakal deh lo. Lo itu memperkeruh suasana doang ntar di sana. Gue dong, otak gue kan cemerlang gitu. Eh, lo sejak keluar, paling lo udah jadi gembel doang kan? Malu-maluin ortu doang lo bisanya.”

“Gak kok, Bro. Gue masih bahagia aja sampai sekarang.”

“Hah? Bahagia? Bullshit! Udah ah, gue ga mau ngechat dulu sama lo, orang buangan gini buat apa dichat. Habisin waktu doang, maaf ya, orang-orang negatif kayak lo itu ga mungkin dilolosin The Indonesian Eyes. They need competent writer like me, not you. Udah ah, jijik ngechat ama lo.”

OoOoOoOoOoOoO

Chat dari Tino tadi sontak membawaku berjalan ke nostalgia memori kelam. Sebelumnya, aku sempat menghabiskan waktu satu tahun berkuliah di salah satu universitas swasta di Indonesia ketika itu mengambil jurusan Akuntansi. Kampus tersebut memang kampus yang dihuni oleh kaum elit. Bayangkan, waktu saya ikut daftar ulang saja, mobil-mobil turut berjejeran mengiringi para calon mahasiswa baru. Mungkin, dari sekian banyak mahasiswa yang mendaftar, aku mungkin orang yang bukan berasal dari keluarga yang mampu beli mobil secara cepat. Aku datang mendaftar ulang bersama orangtua yang sangat senang ketika anaknya berkuliah di kampus yang elit dan terkenal mahal.

Ya, mereka setuju dengan anggapan bahwa kita harus berteman dengan penjual parfum jika ingin kecipratan wanginya dan jangan berteman dengan para pemulung jika takut kecipratan baunya. 
Tentunya, datang dari keluarga yang sederhana, mereka selalu ingin jika anaknya dapat menyicipi indahnya kesuksesan secara finansial. Mendengar berita bahwa anaknya berkuliah di kampus elit, Amak dan Apak ikut daftar ulang dengan baju yang keren yang dikenakan setiap pesta perkawinan warga di kampung. Bukan hanya itu, warga sekampung juga turut mendoakan kesukesanku kelak ketika itu. Mereka membayangkan suatu saat, akan ada seorang yang membawa kampungnya ke arah kesuksesan. Dan, akulah harapan itu. Seorang anak dari bapak dan ibu pendidik yang memiliki sawah dan ternak dan juga sebagai pengusaha toko kelontong dan jasa cuci pakaian.

Hari-hari kuliah di kampus itu aslinya berjalan dengan baik, aku berkenalan dengan beberapa orang. Mereka cukup menerima keberadaanku dan tidak memandangku dari latar belakang sosial. Tidak sedikit juga yang ingin mengunjungi kampung halamanku kelak ketika liburan. Ya, setidaknya sampai ketika aku memutuskan untuk mendaftar di dewan pers fakultasku. Ketika itu, banyak yang mengelu-elukan Tino karena merupakan penulis terkenal. Artikelnya sering menjadi langganan koran lokal, bahkan nasional. Dia juga sering mengikuti lomba menulis esai. Ibaratnya, Tino sendiri sudah menjadi incaran besar bagi Dewan Pers Fakultas. Sementara aku, memang aku senang menulis, namun aku masih merasa harus belajar lebih dalam dan lebih lagi untuk menjadi penulis yang handal. Aku merasa bahwa Tino dapat menjadi seorang mentor yang baik dalam kepenulisan kelak. Semoga saja.

OoOoOoOoOoOoO

Suasana di Dewan Pers memang bagus, rapatnya menyenangkan. Tino memang cukup baik denganku, dan di bulan pertama dia menjadi anggota, dia sudah diangkat sebagai tim editor. Aku sendiri berpikir positif berhubung dia adalah penulis yang handal ditambah dengan kesuksesan dia sebagai penulis. Sebuah hal wajar jika dia menduduki posisi yang cukup bergengsi, dalam mahasiswa tahun pertama. Tentu, sebuah prestasi yang dianggap wajar untuk orang sekaliber Tino.

Setidaknya, suasana ini berlangsung sampai seorang jurnalis handal di kampusku berkata tulisanku lebih baik ketimbang Tino. Saat itu, Dewan Pers Fakultas diberikan sebuah workshop oleh Bang Patria, seorang jurnalis handal dari Fakultas Ilmu Budaya. Kebetulan, dia membawakan bahan tentang cara menulis berita dan artikel opini yang tepat. Pada waktu itu, seluruh anggota Dewan Pers mengikuti dan memperoleh sebuah tugas untuk membuat tiga esai, yang terdiri atas dua esai opini dan dua berita.

“Selamat pagi, para jurnalis. Kali ini, saya sudah memberikan penilaian terhadap hasil tulisan teman-teman semua. Kali ini saya melihat ada beberapa esai yang cukup menarik. Tetapi, ada satu hal yang saya ingin sorot karena cukup menarik bagi saya.”

Sontak, para peserta workshop pun sempat kebingungan dengan apa yang dimaksud oleh Bang Patria sendiri. Menurut Bang Haris, Bang Patria ini memang terkenal misterius terutama dalam penggunaan kata “menarik” ini. Baginya, kata “menarik” dapat digunakan dalam banyak hal, bisa saja itu positif ataupun negatif.

“Tino!”

Tino pun tersontak kaget ketika dipanggil yang kelak akan terganti dengan berkahan senyum optimis. Mungkin, dia merasa bahwa artikelnya memberikan kesan tersendiri dari Bang Patria sehingga disorot. Ada rasa optimis bercampur disertai narsis yang muncul pada dirinya ketika itu, sangat terlihat dari raut mukanya yang memang sombong ketika itu.

“Gimana, Bang?”

“Sebagai orang yang kenyang pengalaman di jurnalistik, saya kecewa denganmu. Memang, harusnya, esaimu lebih baik dari teman-teman yang lain. Namun, jujur, saya lebih terkesan dengan kerjanya Andi ketimbang kamu. Esainya ini lebih mengalir, dan ada sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Tolong sedikit ganti pendekatan dalam menulis. Cukup monoton jika saya lihat akhir-akhir ini. Ada apa?”

“Mmm. Saya sepertinya kurang tidur kali, Bang. Mohon maaf ya, Bang. Tapi, pastiin dulu, Bang. Ketuker apa enggak ya itu tulisannya? Apa jangan-jangan Andi sewa penulis bayaran kali?”

“Astagfirulloh, Tino. Kamu jangan su’uzon kayak gitu. Kadang kritikan itu sendiri dibikin supaya kamu maju. Tapi, Andi, apakah benar itu tulisanmu?”

“Benar, Bang. Saya bikin tadi tanpa bantuan siapapun, Bang.”

“Oke, keep it up!”

OoOoOoOoOoOoO

“Andi, sini lo!”

“Kenapa bro Tino?”

“Lo bohong kan tadi ke Bang Patria? Ngaku ini tulisan lo, kelihatan banget kalo lo itu bohong.”

“Beneran, Bro. Itu tulisan gue tadi. Aku memang sempat minta feedback ke teman juga, sesama penulis. Memang itu dikoreksi juga tadi, tapi ya, kan bukan bagian dari minta penulis bayaran.”

“Oh, kamu percaya ke teman gitu? Gak percaya ke internal Dewan Pers sendiri? Udah berani ya nentang kita semua. Ga solid lama-lama ya sekarang. Lo udah tau kan si Haris bilangnya gimana? Semua tulisan itu harus menjalani proses editing dulu sama kita berdua. Kalian akan tahu kesalahan kalian semua dengan bantuan kita.”

“Lah kan ini tulisan buat tugas esai doang, Tino. Kok harus melewati kalian juga?”

“Ya, itu juga sama aja. Lo mau belajar kan?”

“Mmm.. mau sih, Bro. Tapi, ya, kan Bang Patria juga sangat jago dalam menulis. Mungkin, gue bisa minta feedback dari beliau.”

“Hah? Hello bro.. Hello. Lo. Itu. Berada. Di. Fakultas Ekonomika dan Bisnis. Bukan. Di. Fakultas. Ilmu. Budaya. Kita mengundang Bang Patria itu juga karena formalitas aja untuk mempererat kerjasama jurnalistik antar Fakultas. Gue mah bisa aja itu bikin workshop sendiri ke sana ke mari. Ngapain pake ngundang Bang Patria segala? Skill dia mah di bawah gue. Pernah ga dia headline banyak di koran nasional? Dia mah ga pernah, gue gini pernah.”

“Iya, Bro. Iya.”

“Oke, kali ini gue maafin lo, awas aja sampai lo bikin artikel yang lebih bagus dari gue. Kita ga akan biarkan lo menang. Di Dewan Pers Fakultas, I am gonna be the leader. TRUST ME! Lo Cuma anak kampung doang mah ga bisa apa-apa.”

“Iya, Bro.”

“Paham kan? Udah, lo balik lagi, selesaikan tugas Bang Patria sana. Muak gue liat muka lo.”

OoOoOoOoOoOoO

Workshop sudah selesai dan ternyata tulisanku masih dipuji oleh Bang Patria, berbeda dengan tulisan Tino ataupun rekan lainnya. Ada beberapa yang kebingungan beserta kagum dengan tulisanku selama workshop. Dan, anehnya, entah kenapa Tino juga ikut tersenyum padaku.

“Eh Andi, sini deh. Lo makin hebat aja ya ternyata.”

“Alhamdulillah, Bro. Terimakasih. Ya, memang sudah sedikit berusaha sih.”

“Ohya, untuk merayakan selesai workshop ini, gue mau mengajak lo, ya teman-teman juga sih, gue mau ajak lo mungkin sedikit beristirahat lah ya. Berpesta ria seperti itu. Bebas kok.”

“Oh, boleh-boleh. Kapan ya? Dimana?”

“Entar deh gue kasih tau lo tempatnya dimana. Ikut aja, bro. Sekalian deh buat kita berdamai aja. Gue menyadari bahwa lo emang berbakat juga jadi penulis. Mungkin, kita bisa jadi partner nih kelak.”

“Alhamdulillah deh jika ingin damai.”

“Nah, emang berdamai lebih enak ketimbang kita kelahi gini kali ya.”

OoOoOoOoOoOoO

Sontak, pesta pun jadi diselenggarakan oleh Tino. Kebetulan, pesta itu diadakan di rumahnya Tino. Ternyata menjadi seorang penulis handal pun membuat Tino juga digandrungi banyak wanita. Salah satunya adalah Sarah. Dia merupakan wanita yang cantik dan seksi, tentu saja dia merupakan bunga di kampusnya. Mereka berdua saling mengenal karena sebuah forum Nasional ketika itu. Dia sendiri tidak menyebutkan secara detil tempat dan apa yang mereka lakukan ketika itu. Ternyata, usut punya usut, Sarah sendiri adalah pacar dari Bang Haris dan berencana akan menikah setelah tamat dari kuliah kelak.

Pesta itu dimulai dengan musik dari seorang DJ lokal. Pemandangan di pesta terkesan baru bagiku berhubung sebagai anak kampung, aku sendiri belum pernah memperoleh suasana pesta. Paling dekat itu pada saat baralek gadang di kampung. Baralek gadang selalu dihiasi oleh organ tunggal yang kerap menganggu enaknya tidur malam. Jika memungkinkan, acara organ tunggal terkadang dihiasi oleh pesta miras yang dibarengi dengan musik Dangdut yang dihiasi dengan desahan para penyanyinya. Namun suasananya tentu berbeda dengan pesta di rumah Tino. Pesta ini juga diramaikan dengan alunan musik EDM atau dubstep lah orang bilangnya. Tipe yang cenderung electro ini belum akrab di telingaku, tapi mampu memberikan efek goyang ciamik.
Sebagai tuan rumah, Tino turut menyuguhkan minuman ke tamunya. Termasuk aku sendiri.

“Bro Andi, ini bro, minumnya. Pasti enak kok, ayuk kita bersulang untuk perdamaian kita semua. Betewe, minum lo khusus ga pake alkohol. Tenang aja.”

“Oh oke siap, makasih banyak, Bro.”

Tino pun memulai pesta dengan sebuah teriakan.

“TEMAN-TEMAN! HARI INI KITA BERPESTA RIA. AYO KITA NIKMATI SELURUH MALAM INI DENGAN INDAHNYA! AYO BERSULANG UNTUK KITA SEMUA! DJ, LANJUT! KITA BERSENANG-SENANG HARI INI!”

Aku pun larut dalam gemerlapnya pesta ini. Pesta ini juga dilengkapi dengan tarian dari sebuah dance crew. Mereka turut melenggok-lenggok dengan pakaian yang seksi dan pose yang aduhai. Ini pun sontak memberikan sebuah flashback ke video porno yang sempat aku nikmati pada saat SMA. 
Adegan yang sangat menantang itu mulai ditampilkan di otak dan mataku. Meski, yang terlihat secara nyata adalah bagian awal dari video porno dimana artis wanitanya berlenggok seksi dengan pakaian yang cukup menantang itu. Mungkin, jika ada cowok yang berani masuk ke sana, bisa saja aku menyaksikan adegan pornografi secara langsung di depan mata.

Berlelah menikmati suasana pesta, aku mulai menenggak minuman yang disajikan tuan rumah. Minumannya benar-benar menyegarkan. Tapi, entah kenapa setelah meninggalkan tenggorokan, minuman itu mulai membuatku pusing dan akhirnya aku pun sempoyongan di sana. Tiba-tiba, aku melihat seseorang turut menggopohku ke suatu tempat. Ah, mungkin dia membantuku supaya tidak terjadi apa-apa. Ada baiknya aku ucapkan terimakasih kelak jika aku bangun dalam kondisi yang lebih fit.
OoOoOoOoOoOoO

Paginya, aku bangun dan tersadar bahwa aku terbaring di sofa di kamarnya Tino. Saat itu, aku juga ikut menyadari bahwa ada cairan sperma yang keluar di kawasan kolor. Mengetahui aku sudah terbangun, Tino pun menyuruhku untuk pulang dan mengantarku ke rumah ketika itu. Aku masih dalam keadaan setengah sadar ketika itu. Untung saja, hari setelahnya itu hari Minggu sehingga aku bisa tertidur dengan puas, beristirahat dan mandi. Serta, melupakan apa yang sudah terjadi hari sebelumnya.

Di malam harinya, aku mendapatkan panggilan dari sebuah nomor.

“Selamat malam, saudara Burhandi Jordan. Dari Dekan Fakultas. Saya ingin bicara denganmu, mohon datang besok jam 7 pagi. Ini sangat serius.”

Entah, perihal apa yang membuat Dekan memintaku datang dan menyatakan ini serius, semoga tidak terjadi hal yang buruk kelak.

Apakah mungkin terkait dengan keikutsertaan aku dalam Pesta semalam?
Atau mungkin karena uang beasiswaku yang masih belum cair?
Atau mungkin karena ada tugasku yang tidak menyenangkan salah satu dosen?

Semoga waktu akan berpihak padaku.

OoOoOoOoOoOoO

“Bro, ada video porno tuh yang tersebar. Katanya sih mirip kamu. Emang kamu kah?”

“Video mana, bro? Aku kayaknya ga pernah main asusila gitu bro.”

“Nih, kok mirip ya? Agak gelap sih. Waduh, hati-hati nih bro. Ada yang berani fitnah kamu sepertinya.”

Mendengar berita dari Wiwin seketika membuatku terkejut. Sepertinya, aku pernah hafal dengan tempat video tersebut. Begitu juga dengan pakaian yang dikenakan oleh pemeran pria itu. Begitupun dengan suasana yang sempat mengiringi video itu. Detail per detail aku pun mencoba mengumpulkan berbagai lembar memori yang ada sewaktu pesta yang diadakan di rumah Tino tersebut.

Saat aku mencapai kampus dan kembali melihat video tersebut, sontak aku sadar ternyata AKULAH pemeran video porno yang disebarkan oleh Wiwin. Iya, Aku.

Apakah itu alasan kenapa Pak Dekan memanggilku menuju ruangannya dan menyatakan bahwa ini adalah hal serius?

Semoga waktu kembali berpihak padaku. Atau mungkin, bukan.

Aku pun melangkah dengan was-wasan menuju ruangan Dekan, merumuskan segala kemungkinan hal yang ditanyakan Dekan padaku. Satu hal yang kutakuti tentu tentang video tersebut. Hingga, 
ketika aku sudah sampai di meja Dekan. Beliau pun menyambut dengan raut sedih bercampur marah.

“Silahkan duduk, Saudara Andi.”

“Baik, Pak Dekan. Kalau boleh saya tahu, ada apa, ya, Pak?”

“Maaf, apakah anda yang menjadi pemeran pria di video tersebut?”
Pak Dekan pun juga menunjukkan video yang mirip dengan yang ditayangkan Wiwin sebelumnya. Aku pun mulai merancang kata yang dapat meyakinkan Pak Dekan bahwa aku sedang dijebak.

“Mmmm. Iya, Pak. Itu saya.”

“Mohon jelaskan kenapa video itu tersebar! Dan, apa yang menjadi latar belakangmu melakukan tindakan asusila tersebut. Video ini benar-benar memalukan nama Fakultas, tau kan? Bukan hanya se-Fakultas lho yang tau itu, sekampus juga mulai menyaksikan video itu. Kamu sudah memalukan kami!”

“Izinkan saya klarifikasi, Pak. Ketika itu, saya mendatangi sebuah pesta mahasiswa jurusan di rumahnya Tino.”

“Tino. Hmmm.. Yang namanya Riantino Zaman bukan?”

“Iya itu, Pak. Waktu itu, saya dikasih segelas air putih sama dia. Tapi, pas saya dikasih air gitu, yang ada malah saya tiba-tiba pusing dan tidak sadarkan diri. Entah, apa yang terjadi setelahnya. Pas saya bangun, saya mendapati bahwa saya mimpi basah, Pak. Terua, saya pun pulang dengan kondisi yang lelah. Jujur, memang di video itu saya. Tapi, saya tidak melakukan hal tersebut dengan sadar.”

“Hmm. Saya akan panggil saudara Tino ya ke sini.”

“Baik, Pak.”

OoOoOoOoOoOoO

”Selamat pagi, saudara Riantino. Saya di sini atas pernyataan dari saudara Burhandi tentang bahwa kejadian video tersebut berlangsung di rumah anda. Tolong ceritakan dimana dan apa yang anda lakukan terkait peristiwa tersebut.”

“Begini, Pak Dekan. Saya terus terang tidak tau apa-apa soal peristiwa ini. Mungkin saja, si Andi ini memang tertarik dan senang dengan cewek yang ada di video ini. Mungkin saja, ya namanya godaan natural kan, jadinya dia minta ngelakuin banyak hal.”

“Apakah benar, Saudara Andi?”

“Maaf Pak, saya tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan saudara Tino ini. Saya sendiri tidak meminta pemeran wanita untuk melakukan adegan seks ketika itu.”

“Andi, kamu jangan bohong deh. Dia berbohong sepertinya, Pak. Mana ada maling yang ngaku maling, Pak. Kalau dia sudah terciduk, ya sudah. Pasti banyak alasan bermunculan itu. Teman saya melihat sendiri kok kalo Andi itu mengajak seorang cewek ke sebuah kamar.”

“Gimana, Saudara Andi?”

“Saya. Tidak. Melakukannya, Pak.”

“Tuh kan, lo diam, pasti lo bohong. Udah lah, ngaku aja. Kita sekampus bakal maafin lo kok kalo mau ngaku. Serius.”

“Ah sudahlah. Terserah kalian aja.”

“Loh, kok terserah gitu lho. Ngaku aja kok susah ya? Lo tuh sadar ga sih? Lo sudah mencemarkan nama kampus dengan video itu. Terlebih lagi, sekarang videonya udah nyebar di kampus. Nama fakultas malu, Bro. Gue juga malu untuk partner sama lo di Dewan Pers.”

“Baik, Saudara Andi dan Saudara Riantino. Kita sudahi dulu pertemuan ini, saya akan bicarakan ini bersama Rektor. Karena dari pihak Rektor pun sudah mulai tahu dengan peristiwa dan meminta saya menindaklanjuti peristiwa ini.”

“Sekali lagi, Pak Dekan. Saya SUMPAH DEMI ALLAH, saya tidak melakukan ini dengan sadar, Pak. Saya dijebak.”

“Masalahnya, tidak ada bukti yang menunjukkan jika anda dijebak, Saudara Andi. Kasus ini akan kita perdalam lebih lanjut lagi. Keputusan akan diberikan kelak.”

OoOoOoOoOoOoO

“Hahaha. Burhandi Jordan, hah? JADI PARTNER? HAHAHA! MIMPI KALI YA!”

“Maksudnya?”

“Itu tadi gue yang suruh Sarah buat perkosa lo, Andi. Untung, dianya ga mau sampe bersetubuh. Kalo sampe iya, habislah sudah riwayatmu. HAHAHAHA! Mampus lo! Makan tuh kekalahan lo.”

“Jadi lo yang menjebak gue selama ini?”

“Hah? Lo bodoh apa gimana? Ya iyalah. Lo pikir, dengan ngalahin gue di workshop Bang Patria, lo bisa gitu ngambil posisi editor dari gue. MIMPI! Eh iya, lo tunggu di sini ya, Bang Haris mau ketemu ama lo, kayaknya udah ngedampratin lo. Semoga ga terjadi apa-apa deh.”

“Kok lo tega sih?”

“Hah? Tega? SEJAK KAPAN GUE TEGA SAMA ANAK KAMPUNGAN POLOS MACAM LO? Justru gue ogah ngasih tempat gue ke lo. Dewan Pers jadi kampungan yang ada dengan pemikiran norak lo.”

OoOoOoOoOoOoO

“Oh, jadi gini ya, kelakuan sang penulis baru dari kampung. Berani banget lo mainin cewek gue. Lo kira Sarah siapa? Bisa dipake seenak lo. Ingat ya? Dia itu cewek gue. CEWEK GUE! Sini kalo berani, pukul gue. LO HARUS BUNUH GUE BUAT DAPETIN SARAH!”

“Iya tuh, Bang Haris. Enak aja dia mainin cewek lo. Bantai aja udah.”

“Emang tuh, Tino. Gue selama ini menganggap bahwa pemikirannya dia itu fresh, suci. Ternyata, eh, busuk juga ya. Cewek orang sampe dimainin.”

“UDAH, BRO! BANTAI AJA UDAH! KALO PERLU SAMPAI DIBUNUH AJA!”

“Eh, bro Tino, jangan bunuh gitu. Kerjaan kita hanya membantai saja, kalo yang mencabut nyawa, biar kerjaan malaikat aja. INTINYA, UNTUK SEKARANG, GUE KUTUK LO GA BAKALAN SUKSES SEUMUR HIDUP!”

Seketika pukulan mentah pun mendarat di beberapa bagian tubuhku. Aku pun mencoba menahan segala sakit yang kuperoleh dari fitnah yang beredar ini. Fisik dan mental. Ya, aku ternyata difitnah oleh seseorang yang kelak akan menjadi partner dalam menjalankan beberapa artikel di Dewan Pers Fakultas ini. Ternyata, dia tidak mau menjadi partnerku dan memberikanku hukuman karena telah mengalahkannya.

Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku? Aku pun bingung harus berkata apa kali ini, Tuhan. Jika aku bicara dengan Amak dan Apak, mungkin mereka akan malu sekali denganku.

Mungkin saja, mereka akan memutuskan tali keluarga yang telah dibina semenjak aku lahir.

Amak, Apak, maafkan anakmu yang telah difitnah ini dan telah dicap orang penuh dosa ini.

Amak, Apak, maafkan anakmu yang sudah mempermalukanmu di depan umum.

Amak, Apak, tolonglah aku. Percaya, bahwa anakmu ini tidak bersalah.

Anakmu hanyalah korban kejutan budaya di kota ini. Entah, apakah memang anak kampung selalu terlihat bodoh dan kenapa aku sangat bodoh menerima tawaran damai dari Tino yang ternyata disisipi rencana busuk itu. Tuhan, semoga dia segera diberikan balasan yang setimpal atas segala perbuatannya padaku. Atau mungkin, oleh orang lain jika ada.

Aku pun berjalan dengan air mata bercampur darah menyesali segala kebodohan dan kepolosanku. Menyesali kenapa semua ini harus terjadi padaku.

OoOoOoOoOoOoO

Hingga, suatu saat, aku pun terbangun di rumah yang aku kenal. Ternyata, itu rumahnya Wiwin. Teman yang ku kenal pada ospek universitas ini sudah aku anggap sebagai sahabat untuk sekedar teman curhat ataupun bertukar informasi. Dia ternyata membawaku pulang bersama temannya. Kelak, aku ketahui bahwa dia teman sekosnya Wiwin. Namanya Zaki. Dia sendiri sedang berjuang untuk diterima kuliah, dan sekarang sedang mengumpulkan duit untuk berkuliah sambil bekerja.

“Bro Andi, yang sabar ya, Bro. Memang sih, si Tino mah gitu orangnya.”

“Iya, Bro Wiwin. Makasih banyak lho. Aku sangat menyesal ga dengerin nasehatmu sebelumnya. Harusnya aku ikuti saranmu dan mencoba untuk meniti karir di jalur berbeda.”

“Sebenarnya sih, si Tino emang orangnya gitu, Bro. Ga senang jika ada orang yang melebihi dia dalam karirnya. Terutama sih, dalam hal menulis. Zaki ini juga korbannya dia pas SMA. Cuma, nasibnya ga separah kamu, bro. Meski, pada ujungnya, dia juga jadi babu.”

“Babu gimana bro?”

“Ya, Babu, Bro. Jadi, aku itu disuruh sama si Tino untuk nulis artikel buat dia. Dengan syarat, aku kelak akan dibebaskan dari segala macam fitnah dan ancaman. Aku turuti aja sih permintaannya sampai aku pun sadar kalau aku sudah jadi budaknya. Aku disuruh nulis 10 artikel sampai mampus waktu itu dan dia justru berleha-leha ikut tes masuk Universitas. Ujungnya, aku pun tidak lolos dan dia lolos setelah memamerkan prestasi bualannya itu di depan para wawancara. Ya, sekarang sih aku ngulang lagi untuk tes masuk kampus. Intinya, satu, aku bikin artikel, ntar dia baca, kalau ga sesuai, entar dia akan marah dan ancam bakal bawa pasukan untuk menghabisiku.”

“Terus, kamu ga lapor gitu kah, Bro Zaki ke teman dekatnya?”

“Mereka semua udah terlanjur percaya gitu sama Tino. Susah banget untuk mengekspos kebusukannya. Dia selalu pandai menggunakan lidahnya untuk menangkis segala serangan. Jika sudah gagal, dia muali kerahkan segala pasukan untuk menutupinya. Aku pernah kok sampe dipukul bahkan diancam akan dibunuh.”

“Waduh. Seram juga, Bro. Aku juga kayaknya ngalamin yang kayak gitu sekarang.”

“Bro Andi, Wiwin udah cerita banyak soal masalahmu itu. Kamu memang harus bersabar dan banyak berdoa. Kita orang yang tidak berada ini akan sulit mengalahkannya.”

“Iya, Bro Zaki. Semoga dia mendapatkan hidayah deh.”

“Amin, Bro Andi. Aku sama Zaki akan bantu kamu kok. Tenang aja! You got our back!”

OoOoOoOoOoOoO

Beberapa hari setelah berita itu, aku mendapatkan surat bahwa aku resmi dikeluarkan dari kampus atas video yang beredar, aku pun juga masih menolak mengakui bahwa aku melakukan apa yang ada di video itu secara sadar. Bahkan, aku berani sumpah dengan media apapun.

Aku juga ceritakan berita buruk itu ke orangtuaku. Sesuai dugaan, orang tuaku pasti kecewa dengan apa yang terjadi. Namun, setelah diceritakan lebih lanjut, mereka pun mengerti dan mendukung langkah-langkahku kelak. Ya, di lubuk hati yang terdalam, aku yakin mereka paham bahwa mungkin Tuhan sudah menceritakan jalan yang terbaik bagi anaknya. Dan, sangat disayangkan, aku harus menelan segala pil pahit untuk jalan itu.

Setahun setelahnya, aku diterima kuliah di Pendidikan Agama Islam di Universitas Negeri Jakarta. 
Aku menemukan kembali jalan yang baru, belajar dari segala kesalahan dan tentunya untuk menjadi lebih baik. Takut dengan segala macam negativitas selama kuliah di kampus yang lama, aku akhirnya berpindah kosan. Memang kosan yang lama tidak senyaman yang baru, namun keadaan di kosan dan juga kuliah pun lebih damai dan mengesankan ketimbang yang lama. Meskipun di tahun awal, mereka sempat takut karena apa yang terjadi di video tersebut. Namun, pelan-pelan, mereka mulai bertingkah baik kepadaku. Ini adalah rejuvenasi positif dalam hidupku.

OoOoOoOoOoOoO

Aku pun terbangun karena suara azan Zuhur yang beriringan dari berbagai masjid. Saat itu, email pun masuk yang ternyata berasal dari The Indonesian Eyes. Email tersebut berjudul “Hasil Wawancara Rekrutmen”. Sontak, aku pun membuka email tersebut.

Kepada : Saudara Burhandi Jordan
Salam kreatif!

Setelah membaca isi portofolio dan curriculum vitae serta mendengarkan isi wawancara para pendaftar, berikut kami lampirkan nama-nama pendaftar yang diterima secara resmi menjadi bagian dari The Indonesian Eyes. Selamat datang bagi yang diterima!

Silahkan mendaftar ulang melalui link di bawah hingga 3 hari setelah email ini dikirim.

Aku membuka lampiran yang dikirim oleh pihak kantor, dan, namaku tidak muncul di sana. Cukup menyedihkan ketika kita sudah persiapkan segala hal untuk proses lamaran kerja, mulai dari dokumen, tes minat dan bakat, serta wawancara dengan kata-kata yang menunjukkan kemantapan untuk menjadi bagian dari mereka. Dan, ternyata harus berakhir dengan penolakan. Penolakan itu pun terasa lebih menyakitkan ketika aku membaca bahwa nama “Riantino Zaman” diterima di The Indonesian Eyes.

Kenapa justru dia yang diterima? Ah…

OoOoOoOoOoOoO

Sekitar satu jam setelah Sholat Zuhur selesai dilaksanakan, aku mendapat telpon dari seseorang, yang ternyata adalah Tino.

“Halo, Bro Andi. Lo sudah baca belum email dari The Indonesian Eyes?”

“Sudah, kok. Selamat ya lo sudah diterima di sana.  Lo memang hebat, bro!”

“Hah? Selamat? Harusnya dari dulu kali lo bilang gue hebat. Udah gue bilang, mana mau The Indonesian Eyes menerima buangan kita? Gue juga bilang kali ke Bang Ari buat ga ngelolosin lo. Gue ceritain banyak soal kisah lama lo. Intinya, dengan Bang Ari tau kisah buruk lo, lo udah ga bisa lagi jadi bagian dari media manapun. Udah lah, jangan gabung lagi jadi penulis. Lo itu udah kena kutukannya si Haris! Tau ga?”

“Iya, Bro.”

“Eh, ini gue lagi bersama si Haris ini. Dia mau bicara sama lo.”

“Mana?”

“HALO BRO ANDI! LO GA LOLOS YA? UDAH GUE BILANG.. KUTUKAN ITU MASIH MANJUR SAMPE SEKARANG. GUE GA MAU NARIK LAGI! HAHAHA! MUNGKIN GUE TARIK LAGI KALO LO UDAH BUNUH DIRI KALI YA. HAHAHA!”

“Astagfirullah, Bang. Iya, Bang. Aku minta maaf kalo selama ini memang bikin salah.”

“Maaf? Udah telat! Buang saja kata maafmu. Selama lo masih berada di dalam kutukan lo, LO BAKAL JADI GEMBEL SEUMUR HIDUP! CAMKAN ITU!”

“Baik, Bang.”

OoOoOoOoOoOoO

Entah kenapa, setelah telepon disertai pengumuman bahwa aku tidak lolos itu, aku mulai merasa bahwa aku masih dalam kutukan Bang Haris. Temanku berkata jika kamu dikutuk oleh seseorang terutama dalam hal yang buruk, kutukan itu bertahan sampai itu dicabut. Sehingga, hindarilah kata-kata kutukan negatif dari temanmu itu. Dan, melihat ke belakang. Sepertinya, kutukan Bang Haris itu memang terjadi.

Kutukan itu mungkin yang menyebabkan aku gagal memenangkan beberapa lomba tulis menulis.

Kutukan itu mungkin yang membuatku gagal untuk mendapatkan pendamping hidup.

Kutukan itu mungkin yang membuatku gagal untuk diterima di berbagai tempat kerja

Kutukan itu mungkin yang membuatku gagal lulus dengan predikat cum laude.

Apa yang akan harus aku lakukan lagi, Tuhan? Haruskah aku minta maaf ke Bang Haris dan Tino supaya kutukan itu dicabut? Tentu, itu bukanlah sebuah jawaban. Amak pernah bilang selama ini bahwa jika kamu melakukan kesalahan dan meminta maaf, itu ibaratnya kamu melubangi sebuah kertas. Bisa saja ditambal, namun tidak akan kembali menjadi kertas yang suci dan bersih seperti sediakala. Dia masih saja ingat dengan dosa-dosa yang diperbuat kamu sebelumnya.

Tiba-tiba, memikirkan hal tersebut membuat otakku jadi pusing dan aku merasa tenggorokanku sedikit menyempit, nafas mulai sesak dan entah kenapa aku jalan sedikit sempoyongan ibarat mabuk. Apakah ini pertanda akhir dari hidupku, Tuhan? Seketika, terlihat bayangan sosok Bang Haris dan Tino sudah sampai di tempat kosanku dan mereka sudah siap kembali memberikan pukulan mentah. Aku juga mendengar sebuah teriakan keras dari Bang Haris.

“ANDI! KAMU MEMANG TERLAHIR UNTUK JADI SAMPAH! INI HADIAH UNTUKMU!”

Bang Haris kasih pukulan tepat di ulu hatiku. Mulutku mulai mengeluarkan darah. Ah, memang sudah saatnya untuk mati hari ini jika memang benar aku ditakdirkan untuk menjadi sampah.

“Sudah saatnya aku menghadapmu, Tuhan. ALLAHU AKBAR! LA ILLA HA ILALLAH!”


“Bajalan paliharolah kaki, bakato paliharolah lidah”

------------------------------------

Cerpen ini adalah kelanjutan dari cerpen berjudul "Merantau Bersama Tinta" yang menjadi bagian dari seri cerpen berjudul "Tinta Setelah Penjara". Cerpen ini juga dapat disaksikan melalui Kompasiana ataupun Wattpad

Comments

  1. Lanjut...lanjut, sebel banget sama si tino tuh, nyebelin banget.mudah2an di dunia nyata nggak ketemu sama orang kaya gitu.

    ReplyDelete
  2. ini masih ada lanjutannya lagi kan? nggak seru kalau nggak happy ending
    hahaha

    btw, dibumbui kisah pribadi ya, hehehe

    ohya, ada yang harus diperbaiki tuh kayaknya. bagian ini:
    Pesta itu dimulai dengan musik dari seorang DJ lokal. Pemandangan di pesta terkesan baru bagiku berhubung sebagai anak kampung, saya sendiri belum pernah memperoleh suasana pesta.

    harusnya saya diganti aku, atau bagaimana gitu enaknya

    ReplyDelete
  3. Aih.. sebel sama endingnya. Hihihi. Kutukannya kan dari orang yang salah, masa bisa manjur sih?
    Berharap masih lanjut cerpennya. Berharap ada keadilan di ceritanya. Hihihi.

    ReplyDelete
  4. Wah cerpen!!! Keren mas Farhan. Saya mau ngomentarin sedikit ah. Ada beberapa kata ganti pertama yang gak konsisten antara aku & saya.

    terus di dialog terlalu banyak kata "bro" itu, menurut saya, ganggu, loh. Apalagi 'bro' itu tetap diucapin sama orang yang lagi bermusuhan.

    well, cerpen yang menarik. meskipun saya agak bingung, kenapa ngambil 'kutukan' sebagai pusat konflik.

    hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sepakat dengan kang andhi, tambahan dari saya buatlah bagian awal cerpen berkesan atau membuat orang bertanya-tanya, jadi biar orang tetap penasaran untuk lanjut. Saya tidak tahu nih untuk solusi cerpen tayang di blog, bacanya agak lelah yah. BIsa mungkin diakali dengan tidak terlalu banyak kalimat dalam satu paragraf dan juga font nya agak lebih besar.

      Delete
  5. saya suka dengan pepatah di akhir
    pepatah minang yang mungkin sekarang kurang diketahui atau dipahami banyak generasi muda
    tema cerpennya sepertinya terinspirasi dengan pepatah itu

    benar banget...dalam kehidupan sehari hari kita harus menjaga ucapan dan tindakan, karena jika kita menyakiti orang kadang bisa berbalik ke kita suatu saat nanti

    ReplyDelete
  6. Aku suka sama plot cerita ini dan kayak gimana ya pesannya tuh dapet tapi sayangnya deliverynya kurang mulus. Ini menurut aku loh. Kayak : 1. Aku gak tau gimana Kakak ngedesign karakter si Tino, jadi apakah iya dia bisa sebegitu jahatnya sama Andi cuma gara-gara andi ngalahin dia. Secara dia juga udah Kuliah, kayak gaada sisi maturenya sama sekali gitu. Kalo kayak gitu jadi kayak klise aja buat aku yang ngebacanya. 2. Gak ada penjelasan The Indonesian Eyes itu apa, jadinya aku agak bingung sih. Terus abis itu kok bisa si Tino ujug-ujug dapet nomor whatssapnya si Andi. Kayak mungkin ya di alusin aja menurut aku sih wkwkw.

    Keep up the good work! Ditunggu cerpen-cerpen lainnya loh.

    ReplyDelete
  7. Setuju sama beberapa komen di atas. Kata ganti aku dan saya dipilih salah satu aja kak.
    Trus kayaknya juga panggilan 'bro' buat orang yang lagi musuhan ga tepat.
    Terakhir, aku ga rela kalau si Andi menyerah gitu aja. Lawan dong. Lawan dengan kesuksesan yang lebih mencengangkan.
    Btw kearifan lokal budaya minangnya menarik banget.
    Ga sabar baca lanjutannyaaa..!

    ReplyDelete
  8. Aku memahami bahwa kutukan itu dalam Islam tidak ada.
    Kecuali doa yang ijabah ada 3 :
    (1) Doa orangtua untuk anaknya
    (2) Doa orang-orang yang teraniaya
    (3) Doa yang dilambungkan di waktu dan tempat tertentu.
    Misal : saat hujan atau dalam keadaan musafir, dll.

    Jadi waktu baca ini, aku jadi ingin nembak endingnya deeh...
    hehhe...

    ReplyDelete
  9. Entah kenapa jadi inget malin kundang. Mungkin karena ada unsur minang dan kutukannya

    ReplyDelete
  10. Aku lihat gambar di awal cerita udah mikir seram mas. Memang kekuatan gambar di cerita kayaknya lumayan kuat mas, gimana kalau ditambah lagi di tengah cerita 1 gambar. Kayaknya bakal lebih kece badai

    ReplyDelete
  11. Entah kenapa aku merasa krg sreg dg panggilan Bro

    Terus endingnya menghadap Tuhan, bneran mau mati kah?

    Byk potongannya, mgkn enak lbh simpel, gak harus ketemu dekan dll

    ReplyDelete
  12. Farhan, kamu saya kutuk jadi ganteng, eh... menurutku cerpen ini sedikit bertele-tele, jadinya kurang mengalir saat membacanya. mungkin ada beberapa percakapan yang bisa dihilangkan, farhan

    ReplyDelete
  13. wah.... sungguh plotnya menarik. Seharusnya dijadikan beberapa cerita biar penasaran ngebacanya. tapi ini beneran mati ya tokohnya atau akan ada cerita lain? jangan lupa cerpennya dikumpulkan jadi satu ya Kak, nanti dibukukan

    ReplyDelete
  14. Wah Farhan keren udah nulis cerpen uy... terus terang untuk alur saya rasa terlalu berbelit-belit agak berat dibacanya.. mungkin ni cerpen kelak menajdi bacaan berat. TGinggal disederhanakan kali ya biar pembaca kaya emal2 gini ga harus mengernyitkan kening, sukses dan semangat terus ya Fand

    ReplyDelete
  15. Cerpennya panjang ya... hehehe... agak ngos-ngosan juga bacanya. Ceritanya seru, menceritakan pergaulan anak muda yang masih diselimuti oleh emosi. Tapi agak greget juga sama Andi, kok keliatannya hanya pasrah aja. Gak ada perlawanan yang berarti.
    Cerita ini bersambung kan? Masih ada akhirnya? Penasaran soalnya, gimana nasib Andi dan ngapain Tino sama Bang Haris, tiba-tiba di kos-an Andi?

    ReplyDelete
  16. Sebal sedih campur aduk. Apalagi nama pemain antagonisnya mirip nama mantan. Makin kebawa perasaan. Duuhh

    Nunggu lanjutannya deeh

    ReplyDelete
  17. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih telah mengunjungi blog pribadi saya. Jika suka, jangan sungkan-sungkan lho untuk berkomentar. Salam kenal!

Popular posts from this blog

Cerita Buruk di Sepertiga Terakhir Malam

sebuah reuni | detik-detik terakhirmu

Puisi | Menanti Waktu Berhenti