the love theory - reni


“Everyday, I felt love only in the movies
Or in books or dramas
Mmmm. That’s how I learned love”


Dalam setiap fase kehidupan, pasti kita akan mengenal kata awal dan kata akhir. Mulai dari sekolah, kuliah atau apapun. Kita dilahirkan di dunia ini, dan kelak kita juga akan dimatikan di dunia ini. Begitulah indahnya sebuah antonym. Hidup memang bagaikan roda. Begitu juga dengan perasaan. Terkadang, kita mengenal sesuatu dan terkadang kita mulai merasa untuk menjauh dari itu. Ya, mencerna akan rasa cintaku yang cukup tinggi akan Nanako ini, aku mulai mengingat momen dimana aku mulai belajar rasa cinta sendiri. Seperti yang disebutkan dalam lirik lagu TWICE di atas (tentunya ini terjemahan, kok), awal aku belajar tentang kata cinta itu dari beberapa film dan sinetron yang tayang di saat aku SD. Memang, dari segi jam tayang, televisi Indonesia masih cukup aman ketimbang sekarang. Di kala itu, rasio antara sinetron remaja, telenovela dan sinetron anak-anak masih menunjukkan kewajaran. TIdak seperti sekarang yang cukup membuatku menghembuskan nafas panjang.
Memang zaman SD dan SMP sendiri, definisi rasa cinta hanyalah sekedar “aku suka kamu, yuk pacaran!” atau hanya sekedar “aku suka kamu!”. Kita hanyalah mencontoh bagaimana generasi di kala itu menjalani rasa cinta dari film kayak “Ada Apa Dengan Cinta?” atau sinetron kayak “Siapa Takut Jatuh Cinta” dan juga “Pernikahan Dini”. Belum lagi ditambah dengan beberapa drama yang dibuat oleh acara gosip kayak “Cek dan Ricek” ataupun “Gaul!”. Meskipun itu, aku sendiri kala itu masih diminta untuk orangtua untuk tidak berpacaran, dan hanya berhubungan layaknya teman biasa. Ya, memang, di masa itu, selalu muncul keinginanku untuk pacaran. Namun, entahlah, kapan masa itu akan muncul.
Bagi beberapa orang yang kenal aku, aku memang orang yang kurang peka akan segala situasi. Termasuk soal mengetahui apakah orang itu suka padaku atau bukan. Dan, itu mulai terjadi dari aku kecil. Ya, memang bagiku, cinta-cintaan di zaman SD itu hanyalah kebodohan belaka. Sok sok mengikuti apa yang dipajang di sinetron-sinetron. Kenangan ini pun membawaku ke sebuah masa di mana mungkin di saat itulah aku sempat merasa sedih hanya karena urusan cinta.
Jadi, waktu aku masih kecil di sebuah daerah cukup terpencil yang berjarak 2 jam dari Batam dengan speedboat, aku pernah kenal dekat dengan seorang cewek yang merupakan anak dari teman kerja ayahku. Namanya Reni. Mukanya kala itu, sedikit mirip dengan artis cilik, Chikita Meidy. Aku panggil dia “Kak Reni” karena dia lebih tua satu tahun dariku. Dia sendiri memiliki darah Palembang yang diturunkan langsung dari ibunya. Tetapi, karena lahir dan dibesarkan di Riau, tentu saja, tidak terlihat logat Palembang yang muncul. Meski, jujur, aku sendiri belum paham bagaimana logat Palembang yang sebenarnya. Susah membedakan antara logat Jambi ataupun Bengkulu. Kami kala itu memang dekat, selalu main bareng, makan bareng, bahkan jalan bareng. Ya, tentu di saat itu tidak ada rasa suka dan semuanya hanya berjalan di bawah pengawasan orang tua. Namanya juga anak-anak, apalagi pada masa TK, emang ada ya rasa cinta. Apalah itu cinta, di kala yang kita lakukan hanyalah bangun, minum, makan, main, belajar dan tidur.
Memang, umur juga yang turut memisahkan kami. Aku dan Kak Reni tentu saja tidaklah sekelas. Dia satu tingkat di atasku, apalagi ketika kami sudah menginjak bangku SD. Aku pun sudah terpisah dari Kak Reni, bukan hanya karena dia sudah masuk SD, melainkan aku juga yang pindah rumah karena suatu hal. Ya, karena waktu itu kami tinggal di sebuah pulau yang populasinya 90% orang yang bekerja di sebuah Perusahaan Nasional yang berpusat di pulau itu. Pindahnya tidaklah jauh, ya hitungannya belum 1 kilometer sebenarnya. Namun, karena aku tinggal di pulau itu semenjak aku kecil. Maka, aku cukup menganggap itu hal yang jauh. Ya, pengalaman memang merubah definisi dari jarak, kok. Apalagi, jika kamu sudah merantau kemana-mana, mengunjungi beberapa tempat. Tentu, bagimu itu bukan lagi jauh dan tidak mungkin.
Setelah itu, kami pun tidak lagi saling mengontak. Ya, memang selain karena memang kami sudah berbeda lingkaran pertemanan dan juga dari segi gender juga. Kami memang sudah sibuk dengan dunia kami masing-masing, aku sibuk menikmati game Playstation, sedangkan dia hanyalah sibuk bermain tradisional. Semenjak itu, kami pun hanya bisa bertemu di saat jadwal mengaji sore di Mesjid Perusahaan. Aku sering lihat Kak Reni main sama teman-temannya, dan memang Kak Reni tampil lebih beda ketimbang temannya. Ya, di kala itu, kami hanya bertemu dan bercerita saja. Tidak ada bahasan lebih jauh, karena ujung-ujungnya, kami bermain dengan orang di lingkaran kami saja. Tidak ada pertanyaan soal “Apa kabar?” atau “Kamu sudah ngerjain PR belum, Kak?”. Tidak ada sama sekali. Ya, rasa cinta itu juga tetaplah belum tumbuh seperti apa yang dirasakan jika itu terjadi beberapa tahun setelahnya.
Semua itu pun berubah di kala ternyata Reni harus pindah sekolah. Ibunya kebetulan di-PHK sama perusahaan tempat kami bekerja. Dan, di kala Reni pindah, entah kenapa, cukup banyak teman-teman di sekolahku yang pindah karena orangtuanya sudah di-PHK atau bagaimanapun alasan yang terjadi. Aku memang cukup sedih karena salah satu teman dekatku sudah pindah, namun lebih sedih lagi di kala ada teman yang bilang
Gani, kamu tau gak? Reni itu suka loh sebenarnya sama kamu!
Katanya membuatku sempat terharu dan sempat sedih karena aku baru tahu setelah dia sudah pindah dari SDku tersebut. Ya, sedihnya memang sebentar, tidak bertahan lama. Karena, di kala itu, aku pun hanya berharap dia tetap suka sama aku. Namun, entahlah gimana caranya aku bisa mengontak dia. Di kala itu, hape terbaik hanyalah yang bermerk NOKIA, tidak ada media sosial ataupun messenger. Aku tidak punya nomor hapenya, dan memang tidak mungkin bagiku untuk sekedar ber-SMS ria di kala aku sendiri tidak punya hape pribadi. Dan, hape di kala itu hanya dipenuhi dengan hiburan belaka, seperti memperoleh skor tinggi di game Snake atau menembak-nembak di Space Impact. Atau menikmati keenakan hape kamera a la Nokia dengan kualitas gambar yang rendah, atau menikmati rekaman video dengan kualitas 3GP sebelum dijadikan kode untuk film biru. Memang susah untuk memperoleh kontak Kak Reni hanya untuk menanyakan kabar.
Perlahan-lahan, aku baru dapat kabar lagi dari teman bahwa ternyata Reni sudah melupakanku dan pindah ke cowok lain. Entahlah, gimana mereka bisa tau kabar seperti itu, dan memang aku akui, dibandingkan temanku, aku memang tergolong kudet soal apapun. Di kala teman-teman sudah menunjukkan HP kamera yang mereka punya, aku hanyalah bertahan dengan hape jadul. Mendengar berita itu membuatku sedih, bahkan entah kenapa aku sempat meneteskan air mata saat disuruh menyanyi lagu “My Heart Will Go On” dari Celine Dion yang sebenarnya hanyalah sekedar untuk bahan pendamping saat les Bahasa Inggris. Entah, apa yang membuat air mata itu keluar, tapi bisa dibilang itu adalah pengalaman pertama di kala aku merasakan cinta sendiri.
Saking sedihnya, pernah pada satu liburan, aku coba ke tempat Ibunya Reni hanya untuk sekedar menanyakan kabarnya. Kebetulan dari kampungku itu ke tempatnya memakan waktu sekitar 2 jam dan sudah berganti Provinsi sekarang dari sebelumnya Riau jadi Kepulauan Riau. Kebetulan juga ayahku memang ada urusan kerja di sana juga. Jadi, sekalian manfaatkan peluang. Dan, sayangnya, aku tidak berhasil menemukannya, terlebih juga karena tergoda akan keindahan kotanya yang membuatku lupa akan tujuan awalku ke sini. Aku pun pulang dengan tangan hampa akan kabar dari Kak Reni sendiri. Ya, saat itu, aku memang masih kelas 5 SD dan tentu saja, belum seserius itu saat membahas tentang cinta. Hah, kenapakah dirimu, Gani. Sudah berani sekali mengejar cinta yang tidak jelas itu.
Setelah sekian lama, aku pun juga harus pindah dari SD tersebut. Kali ini, bukan karena ayahku yang di-PHK apa gimana. Tapi, memang keputusan dari orangtua saja karena urusan Pendidikan yang lebih baik. Ketika melihat lagi ke sekarang, jika misalnya aku tidak pindah dari kampungku itu, mungkin aku tidak akan maju hingga sekarang. Kuliah di salah satu Fakultas Kedokteran ternama di Yogyakarta, dan sekarang akan menjalani sumpah dokter. Entah, apa yang terjadi jika aku hanya bertahan di kota tersebut. Dan, dari penelusuranku, Kak Reni sekarang sudah kerja juga di Palembang, semenjak itu, aku hanya bertemu secara tidak sengaja dengannya di Pelabuhan Batam. Tampangnya saat itu, cukup kurus dan tidak secantik di kala SD dulu. Ya, memanglah, di kala kita sudah menambah penelusuran kita alias merantau, definisi sifat pun berubah. Dari SD ke SMP ke SMA hingga Kuliah, aku sendiri merasakan perubahan tentang definisi dari cewek cantik itu sendiri. Begitu juga dengan Kak Reni sendiri. Mungkin, baginya, aku hanyalah remah-remah ketimbang cowok-cowok yang pernah dia temui. Dan, itu benar-benar menunjukkan sebuah proses evolusi dari perasaan sendiri. Berubah bersama dengan waktu.
Lagian, sampai sekarang, aku juga sudah jarang bertemu sama teman-teman yang aku kenal saat SD. Hanya bisa berinteraksi di sosial media saja. Suatu fenomena yang berperan untuk mendekatkan yang jauh. Entahlah, bagaimana mereka sekarang ini jika aku bisa berpapasan. Beberapa teman cowok yang sudah aku temui tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Tapi, kalau cewek, entahlah. Mungkin, sudah cukup banyak yang berubah. 

Yeah, dude. Puberty strikes!
TIdak sedikit orang yang dulunya kita anggap jelek di SD, ternyata berubah menjadi orang yang dipuji-puji karena ketampanan atau kecantikannya. Begitu juga dengan tragedy sebaliknya. Memanglah, dalam cinta, kita perlu bersabar dan mencari waktu yang tepat untuk sekedar menyatakan cinta. Mungkin aja, cewek yang kamu anggap jelek sebelumnya, gemuk, pemalas, bau di sekolahmu, bisa saja dia berubah menjadi model majalah fashion. Jadi, bersabarlah. Masa kecilmu belum menentukan masa depanmu, kok!
Semoga kamu bahagia, Kak Reni! Aku ingin bertemu lagi, kok, jika ada kesempatan!

Comments

  1. masa kecil emang fase paling bahagia di kehidupan ya...

    dan setuju banget dengan kalimat ini:
    "Masa kecilmu belum menentukan masa depanmu"

    ReplyDelete
  2. aku suka kalimat ini : "Masa kecilmu belum menentukan masa depanmu"

    ah.. membaca ini aku jadi teringat waktu TK dulu pernah cinta cintaan monyet. dan pernah berkhayal akan membina hubungan dengan dia. tapi nyatanya... yaah gak tau deh. siapa yg tahu takdir, ya.


    eh maaf aku jadi curhat haha

    ReplyDelete
  3. Aku bahkan sudah merasakan namanya suka sama lawan jenis sejak tk, iya tk dan aku masi ingat namanya sampai skrg, hanya sekedar lebih suka melihat dia ketimbang teman cowok lainnya hahaha.. Pengen deh sesekali menulis kaya farhan gini,agar jadi sejarah kapan rasa normal itu bermula. Fitrah dari Allah ya

    ReplyDelete
  4. Ah... Kenapa pas banget sama cerita anak2 tadi tentang temannya yang cukup cupu dan tak banyak teman. Lalu aku bilang, awas lho kak nanti kalo di cantik kamu pasti suka. Haha

    ReplyDelete
  5. wuaw, kutebak lagi nih: terinspirasi dari kisah nyata yaa...

    keren ya, pengalaman soal cinta2an yang receh, jadi berkelas begini.
    siiiih, penulisnya nih ajaib.

    kalimatnya mengalir bang. enak dibacaaaaa

    ReplyDelete
  6. Waktu memang bisa mengubah segalanya. Aku sendiri meski masih berdomisili di dekat lokasi SDku berada, sudah tak bisa bertemu dg teman2 SD setiap waktu. Mereka hanya kulihat ketika salat idul fitri, setahun sekali. Dan ya ada banyak sekali perubahan, baik aku atau mereka.

    ReplyDelete
  7. Haiyaa.....cinlok, bisa dibilang cinlok nih

    Karena sering ketemu kan jadi cuinta

    ReplyDelete
  8. Walah.... aku buka videonya malah nyanyi nyanyi lagi kak. teringat liriknya langsung happy buat cerita. Terimakasih sudah membawa lagu masa kecil ini dan membuat aku tersenyum

    ReplyDelete
  9. Zaman SD kalau bilang suka ya langsung jadian, pacaran, sesimpel itu. Aku dulu suka org tp gak bilang sih. Rasanya gak nemu alasan buat pacaran, hahaha

    ReplyDelete
  10. Good job. Lanjutkan!!. Mungkin konsistensi yang ditambah sedikit.

    ReplyDelete
  11. Hehhe...ini generasi anak milenial yaa...
    Jaman aku SD, kalau suka...berarti saingan.
    Saingan dalam hal prestasi.

    Kalau gak seimbang...berarti gak pantes buat bersanding dengan doi.

    Jadi,
    jangan berani-berani ngaku suka kalau prestasinya gak bisa mengimbangi.

    ReplyDelete
  12. Aku jadi sedih.. hiks tapi bener Farhan. Dulu temenku pas SMU jelek banget.. miskin sama kayak aku.. suka jalan kaki ke sekolah.. sekarang mah kaya Raya.. kerja di minyak.. intinya memang Kita ga boleh menyepeleka .siapa pun ya

    ReplyDelete
  13. Waktu kecil melihat teman teman biasa dan sama saja, beranjak dewasa kita mulai memilih dan memilah terkadang suka kasian ada yg dimusuhin karena sesuatu hal.
    .
    Jelang beberapa tahun kemudian malahan org yg dimusihin malah jadi orang sukses
    .
    Memang dah masa kecil dan masa depan tidak akan bisa diketahui

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih telah mengunjungi blog pribadi saya. Jika suka, jangan sungkan-sungkan lho untuk berkomentar. Salam kenal!

Popular posts from this blog

Cerita Buruk di Sepertiga Terakhir Malam

sebuah reuni | detik-detik terakhirmu

Puisi | Menanti Waktu Berhenti