Cerpen | Lamunan Tentang Dia yang Belum Datang


“Eh, Lewis, kamu coba deh besok ke Posei City Mall deh. Katanya mau ada semacam pameran pernikahan gitu. Bisa dicek harga venue atau foto pre-wedding di sana.”

Siang hari di Kafe Sikho ini tiba-tiba dipenuhi dengan bahasan akan pernikahan. Kafe ini sering menjadi tempat nongkrong bagi kami, enam dokter baru yang ditugaskan di Kota Arlegnon. Ditemani dengan lagu yang mendayun, kami selalu memesan berbagai minuman yang disajikan. Kala itu, yang berkumpul hanya empat saja. Aku, Lewis, Mona dan Tera. Lewis akhir-akhir ini memang sering cerita ke kami akan betapa sibuknya dia dalam merencanakan pernikahan. Padahal, dia sendiri baru akan menikah tahun depan. Tapi, sudah persiapkan matang-matang dari sekarang. Dia benar-benar diminta sama keluarga kedua belah pihak untuk persiapkan pernikahan yang matang dan berkesan, mulai dari tempat yang nyaman, makanan yang enak, bahkan foto pre-wedding yang sangat mantap!

Memang, gedung-gedung di kota Posei selalu penuh dengan berbagai acara, terutama untuk hari Sabtu dan Minggu. Hari di mana hampir semua orang sibuk beristirahat di rumah, menikmati aktivitas bersama keluarga di rumah, atau untuk yang jomblo seperti aku, menikmati kesendirian yang ada. Nasib ini tentu saja berpengaruh dengan aktivitas kota Arlegnon yang jaraknya ada di kisaran 30-40 menit dengan mobil. Gedung-gedung di kota ini sering sekali jadi tempat alternatif jika pahit-pahitnya kota Posei tidak bisa digunakan untuk acara yang sifatnya personal, seperti pernikahan atau seminar para ilmuwan di sana. Beberapa hari yang lalu, ada satu perawat di Rumah Sakit yang cerita jika ada seminar ilmiah keperawatan yang dipindah ke Arlegnon karena padatnya jadwal di kota Posei. Sangat wajar jika Lewis harus pertimbangkan itu matang-matang.

Sebagai orang bersuami, tentu saja Mona lebih berpengalaman soal mengurus pernikahan. Dia lebih tahu soal hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan dibandingkan kami berempat. Kemarin, saat aku datang ke pestanya, aku melihat aura yang sangat berkesan. Mulai dari makanan yang enak, gedungnya yang sangat tertata rapi, bahkan konsepnya juga unik. Yang disayangkan cuma satu, saat aku datang, pestanya sudah mau selesai. Aku bahkan tidak merasakan adanya pelemparan bunga, sebuah ritual yang aku sangat tunggu. Aku ingin sekali dapat bunga itu. Katanya, kalau dapat, bisa saja orang itu yang akan menikah duluan.

Namun, masalahnya, satu. 

Aku belum dapat pasangan hingga sekarang. Itulah yang sering terngiang di kala orang sedang asyik bahas tentang pesta di mana, bulan madu mau ke mana, prewedding mau pakai konsep apa, atau berapa mahar yang akan diberikan. Jangankan hal-hal tersebut, pasangan saja masih belum ada sekarang ini untukku. Lantas, di kala mereka sedang asyik bicara, aku mulai berangan-angan soal pernikahan.

Apakah memang aku butuh pasangan di sana?
Terakhir kali hubunganku dengan seorang wanita harus berakhir menjadi sebuah hubungan beracun. Di saat aku bersamanya, yang ada dalam pikiranku hanya malu dan mungkin, malu. Aku bingung bagaimana aku harus menghindari pertemuan dengannya, bahkan aku harus berbohong di kala aku datang ke pernikahan seorang kenalan yang tinggal tak jauh dari rumah wanita tersebut. Aku sampai sekarang juga berharap supaya wanita itu tidak mengirimkan pasien dari kliniknya ke tempatku bekerja kelak. Perlahan, aku mulai lelah dengannya.

“Dok, kapan kita makan bareng lagi, quality time gitu buat kita berdua?”

Kata itulah yang menjadi titik balik perasaanku dengan wanita itu. Dia sampaikan kata itu saat kita berdua makan di sebuah restoran ayam di kota Arlegnon. Restoran itu cukup ramai meskipun baru satu bulan dibuka untuk umum. Saat itu, kami janjian untuk makan bareng, aku sempat pakai itu untuk utarakan perasaanku dengannya. Namun, semuanya musnah dalam waktu satu hari saja. Aku bahkan bingung apa yang harus aku ucapkan setelah itu. Berduaan makan di sebuah restoran ayam dengan pakaian cukup formal. Kondisi saat itu sangatlah ramai, untung saja, tidak ada orang yang mengenaliku. Kalau ada, mungkin aku akan jadi bulan-bulanan di Rumah Sakit. Terus terang, setelah itu, aku langsung bingung harus berkata apa. 

Kebingungan itu semakin bertambah di saat wanita itu minta supaya aku melamarnya. Dia sudah lelah dengan pacaran, hanya butuh kepastian belaka. Aku masih 23 tahun kala itu dan sampai sekarang belum ada memikirkan tentang kepastian. Aku hanya menjawab tidak, dan setelah itu, kami menjauh perlahan-lahan. Dan, semua itu juga diselingi oleh semua perasaan buruk yang saling kami utarakan bersama. Itu menjadi bumbu dari putusnya hubungan kami berdua. Sebuah akhir yang sangat tragis. Dari mendambakan jadi mencampakkan.

Dalam lamunan itu, aku kembali berpikir, bersama dengan secangkir kopi karamel yang aku pesan di kafe itu.

Jika memang aku butuh sosok pasangan itu, apakah dia bisa menerima apa yang aku punya sekarang ini? 

Seorang yang selalu hanya menghambakan diri dengan status pendamba. Dia tidak ada teman yang bisa dibangga-banggakan untuk datang ke acara pernikahan kami kelak. Acara itu pasti akan sepi, yang datang hanyalah warga sekitar yang mungkin tidak kenal akan siapa sosok pria yang mempersunting wanita kebanggaan kampungnya itu. Mereka datang hanya karena itu adalah adat dari kampungnya sendiri. Tidak ada ikatan emosional seperti apa yang ada seharusnya jika kita menghadiri sebuah pernikahan. Begitu pula denganku. Sangat jarang sekali aku dapat satu atau dua undangan pernikahan, bahkan sekadar basa-basi saja pun aku sepertinya tidak layak.

Seorang yang pikirannya sangat abstrak di mana baginya pesta itu hanyalah seremonial saja dan tidak penting untuk dirayakan. Baginya, pernikahan adalah sebuah tanda bahwa dua insan akan menjadi satu dan hidup selamanya mengenal satu sama lain. Mengenal tubuh masing-masing, mulai dari muka tanpa riasan, lokasi panu, atau keberadaan jamur di selangkangannya, dan memahami kebiasaan masing-masing, mulai dari bagaimana pasangan itu tidur, makan, bahkan ngupil dan buang air kecil. Masih banyak lagi. Baginya, pesta itu tidak jauh beda seperti makan, hanya bisa dinikmati sebentar saja, sisanya hanya milik berdua saja. 

“Heh, Gordon. Kamu merenung aja, lagi mikirin sajak baru, ya?”

Panggilan dari Tera pun kembali menyadarkanku dari lamunan panjang tentang pernikahan. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, sepertinya kami semua langsung beranjak pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga denganku. Mungkin, akan ada waktunya bagiku untuk tahu apa jawaban dari pertanyaan itu. Entahlah kapan. 

Nanti malam, besok, atau minggu depan.


Comments

  1. Semoga jawabannya segera datang, agar tak ada lagi lamunan panjang di malam-malam yang sepi. Pernikahan memang sebuah titik yang penting.

    ReplyDelete
  2. Aku penasaran deh kota Arlegnon tuh mana yahh hahaa. Sampai cek di Google dan baru nggeh, ya ampun ini cerpen ehhehe. Kayak bener2 hidup gitu ceritanya mas.

    ReplyDelete
  3. Kalau perempuan ngajak nikah kayanya gampang ya, beda dengan laki-laki. Mereka perlu banyak berpikir karena setelah menikah, dia yang mengambil tanggungjawab

    Soal lempar bunga, malah teringat sebuah drama, hahaha

    ReplyDelete
  4. Tulisan mas Farhan ini punya ciri khas bgt ya, kalo ada bahas2 nikah Eny sensitif nih ahahahahah

    ReplyDelete
  5. Ini cerpennya lebih rapi dari yang kubaca sebelum-sebelumnya. Bagus, Kak. Lanjutkan! :)

    ReplyDelete
  6. Lokasi panu, dong. Menikah memang ada yang lebih penting dari seremonialnya ya, namun sebuah awal yang baru dan berdua

    ReplyDelete
  7. Aku selalu lebih suka dengan alur cerpen. To the point gitu ceritanya.
    Nah cerpen yang ini aku lebih suka. Gaya bahasanya mengalir.

    ReplyDelete
  8. Persis kisah sahabatku yang kala itu punya pasangan seorang dokter.
    Karena sekolah dokter lamaaa...jadi berakhirlah hubungan mereka.
    Padahal kurang dekat apa waktu itu...?

    ReplyDelete
  9. Kalau ada gambar ilustrasinya, ini cerpen pasti makin menarik dibaca. Senang akhirnya bisa membaca cerpen dari blog ini..keren,

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih telah mengunjungi blog pribadi saya. Jika suka, jangan sungkan-sungkan lho untuk berkomentar. Salam kenal!

Popular posts from this blog

Cerita Buruk di Sepertiga Terakhir Malam

sebuah reuni | detik-detik terakhirmu

Puisi | Menanti Waktu Berhenti