Cerita Tentang Komitmen


“Bro Andi, bangun. Sholat shubuh dulu yuk ke mesjid!”

“Siap, Bro! Ini gue lagi mau siap-siap dulu. Irul ga ikutan?”

“Enggak. Dia lagi kurang enak badan tuh. Yuk, keburu, masa hari pertama kerja malah males-malesan. Ga asik nih.”

“Huft. Iya deh. Yuk, gue udah siap nih ke mesjid!”

Akhirnya, setelah menikmati lima hari yang mengasyikkan berkeliling menikmati kota Yogtakarta. Aku akan memulai kehidupan yang semestinya di sini. Ya, ini adalah hari pertama kerja di The Indonesian Eyes. Menurut email yang kuterima, untuk karyawan baru, baik itu wartawan ataupun juru kamera, akan menjalani program matrikulasi disertai orientasi tugas kerja selama 3 hari di sana. Sebuah cara yang dirasa cukup wajar untuk orang yang bekerja di pabrik-pabrik, namun bagi pekerja media, bagiku terasa kurang efektif atau mungkin bahasa baiknya, aku belum berani membayangkan akan seperti apa hari-hari tersebut dijalani. Namun, untuk para wartawan, kami sudah langsung ditugaskan untuk menyetor berita ataupun artikel selama program tersebut. Aku pun mulai tidak sabar menunggu hari pertama yang akan dimulai pada pukul 8 pagi.

“Men, ga dirasa yah kita bertiga sudah mulai memasuki dunia kerja. Gue kerja di sekolah, lo kerja di media, Irul kerja ngurud desain-desain.”

“Iya nih, Fi. Bener-bener ga disangka waktu sudah berjalan secepat ini. Gue keinget hari pertama kita sholat shubuh bareng itu ya waktu tahun kedua pas mau ikut pengajian. Dulunya, yang ada di pikiran justru gimana cara garap tugas kuliah.”

“Dulunya saling mikirin tugas kuliah dan bantu satu sama lain, sekarang tugasnya ya di masing-masing kerjaan. Ya toh?”

“Iya sih.”

“Assalamualaikum, Good morning! How are you doing, cyn?”

“Wa’alaikumsalam. Eh, Mas Slamet. Still okay. Betewe, Mas, semangatin Andi tuh pake kata-kata kebanggaanmu. Ini hari pertama dia kerja loh.”

“Biasa aja kali, Fi. Buset dah!”

“Ohya? Ya.. semangat aja, Ndi. Gitu.”

“Gitu doang, Mas? Gak keluarin kata-kata mujarabmu gitu?”

“Kata-kata mujarabku keluar kalau lagi ngomongin cinta, Bro Zulfi. Sekarang kita lagi ga bahas cinta, cuma bahas kerjaan toh. Ya, semoga kamu dapat jodoh aja ya, Ndi. Sama paling bawa tuh temen-temenmu makan di sini.”

“Lah, malem doang bukanya, Mas. Gimana?”

“Ya, itu. Kan malem toh itu. Emang ada lembur kah di kantor?”

“Enggak sih. Cuma, ya, entar lah kalo sempat dan mungkin ketemu yang cakep, tak ajak makan ke sini.”

“Mmm.. gak enak juga sih, malam-malam bawa cewek ke sini.”

“Iya sih. Tapi, ya gampanglah itu. Yaudah Mas, sudah jam 5an nih. Mau balik dulu, siap-siap kerja hari pertama. Biasalah. Mau bikin impresi dulu biar bagus.”

OoOoOoOoO

Akhirnya, setelah menuliskan berbagai kisah di lembaran-lembaran selama kuliah, aku pun masuk ke lembaran yang lain bertema kerja. Ya, ini adalah awal untukku bekerja menjadi seorang wartawan di media. Siapa yang kelak menyangka seorang yang lahir dan besar di kota Pariaman, akan bekerja menyebarkan berbagai informasi penting dan menyertakan opininya dalam skala nasional. Ya, benar-benar hal yang tidak terduga bagiku. Menurut e-mail yang masuk, seminggu pertama selama di The Indonesia Eyes akan dijalani dengan orientasi ditambah dengan kita yang sudah dapat tugas peliputan di Hari Jum’at. Tapi, tentu saja, kontributor media online, mereka tidak mengenal apa itu liburan, terkadang setiap hari, harus masuk ke kantor. Tidak seperti orientasi yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar, orientasi kami tidak memberikan aturan tentang pakaian. Yang penting pakaian sopan dan tidak mencolok. Kali ini, aku pun persiapkan diri dalam berbagai aspek, baik itu fisik ataupun mental. Yang jelas, untuk hari ini dan seterusnya, aku tidak mau berharap banyak, misalnya menjadi penulis berbakat ataupun punya cewek. Memang, kita manusia itu harus memikirkan tujuan ke depan, namun aku tidak terlalu ingin muluk-muluk.

Ya, aku takut terjatuh dari sekedar berharap ketinggian. Iya, Jatuh itu sakit kok. Semakin tinggi kamu berharap, akan semakin sakit terasa ketika kamu jatuh. Jika kalian belajar fisika, tentu saja kalian mengenal istilah energi potensial. Sebuah materi yang diajarkan ketika SMP yang dijelaskan dengan rumus penting di bawah

Energi potensial = massa x gravitasi x ketinggian

Energi potensial sendiri dapat menjelaskan kenapa semakin tinggi kita jatuh, maka akan semakin besar resiko kita untuk mengalami patah tulang. Ya, terkecuali jika kita jatuh atas bantuan parasut atau ada trampolin empuk di bawahnya. Seperti itulah bagaimana aku harus menaruh harapan ke depan, sekarang ini, harapan aku selama minggu pertama ini hanyalah satu. Tugas selesai, bisa istirahat, dan tidak bikin orang tersinggung.

Simpel kan?

Ya, setidaknya lebih simpel dari sekedar menghidupkan motor tua pinjaman dari Mak Rizal.

Ah, motor ini memang sudah seharusnya memasuki masa pensiun. Selalu ada masalah ketika ingin menghidupkan motor tersebut, dan ketika sudah berhasil, masalah pun muncul lagi ketika ingin mengganti gigi. Seolah, masalah tersebut datang silih berganti di motor ini. Ingin rasanya aku jual motor ini, tapi apa daya, ini hanyalah pinjaman belaka. Mak Rizal sendiri pernah berpesan bahwa untuk bisa menghidupkan motor ini, perlu dilakukan berbagai macam pendekatan dan ritual. Ya, motor ini harus dipanasin dulu selama 10 menit supaya mesinnya berjalan baik. Belum lagi, tuntutan untuk servis berbagai macam bagian motor secara berkala. Yang dimaksud berkala di sini, bukanlah satu bulan ataupun dua bulan. Melainkan, setiap 4 hari sekali. Entah, apakah karena dia gagal move on dengan Mak Rizal atau mungkin lebih ke karnea akunya saja yang kurang sabar dan kurang paham ilmu sepeda motor. Ingin aku bawa, motorku waktu di Jakarta, namun apa daya, biaya yang mahal membuatku berpikir dua kali untuk melakukan hal tersebut. Belum lagi, kepengurusan motor itu yang membuat segalanya menyebalkan.

Dan, setelah cukup lama membujuk motor itu, dia pun mau bekerja dengan baik. Mungkin, akan lebih baik, jika aku mencoba pacaran dulu dengan motor ini sebelum pacaran ke manusia. Mungkin, akan aku beri nama motor ini atau mungkin sebelum naik, aku rayu dulu dengan panggilan “Sayang”. Mohon jangan bayangkan dulu aka seperti apa, aku senidri juga tidak bisa membayangkan bagaimana prosesnya kelak. Menjijikan. Aku pun akhirnya memulai berangkat di hari pertama kerja. Aku sendiri tinggal di Pogung, yang memang terkenal sebagai tempat yang ramai dengan kos-kosan berbagai kelas. Ada yang kelas kakap, kelas teri, bahkan sampai kelas rendahan pun membuka di sini. Terutama, hal ini mendukung karena posisinya yang dekat dengan Universitas Gadjah Mada (UGM), kampus kerakyatan yang sering dijadikan alibi bagi perantau yang melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Di kampung kami, jika kalian bilang “kami kuliah di Yogya”, mungkin pertanyaan atau dugaan yang akan muncul adalah “kamu kuliah di UGM?”. Itulah kenapa belum ada orang di kampung kami yang berhasil menginjakkan kaki berkuliah di kota ini. UGM bagi kampus-kampus Yogyakarta itu ibaratnya seperti kata “Aqua” untuk minuman botol atau mungkin “Honda” untuk sepeda motor.

Setelah beberapa saat bermesraan bersama motor tua ini, aku pun telah sampai di kantor “The Indonesian Eyes”. Kantor ini terletak di antara Tugu Yogyakarta dan Malioboro. Dua dari sekian hal yang melambangkan popularitas kota Yogyakarta di mata Indonesia. Hal yang aku cukup salutkan dari Yogyakarta di hari pertama adalah lalu lintasnya yang cukup bersahabat, tidak seperti di Jakarta yang dapat menambah pahala maupun dosa di setiap detiknya. Waktu sendiri sudah menunjukkan pukul 07.32, lebih telat 2 menit dari waktu yang aku proyeksikan untuk sampai. Meskipun, program orientasi sendiri dimulai pukul 07.55, aku selalu usahakan untuk datang cepat. Terutama, untuk menghindari berbagai wacana yang tidak jelas seperti kuliah dimajukan atau bagaimana. Sebuah kebiasaan yang sudah terpupuk semenjak kecil dan sudah menular di keluarga kecil kami. Meskipun cukup pagi aku datang hari ini, ternyata sudah ada satu orang yang sudah muncul di ruangan yang sudah dijadwalkan untuk orientasi hari pertama ini. Dan, entah kenapa, tidak seperti biasanya, aku seolah-olah mengalami apa itu yang disebut sebagai “cinta pada pandangan pertama”. Tuhan, entah apakah ini yang dinamakan cinta atau seperti apa. Tapi, dia sendiri mengingatkanku pada seorang tenar yang sempat mampir menjadi “celebrity crush” di otakku. Entah itu, dari rambut hitam sebahu yang memang menjadi kriteria dari cewek idamanku, atau dari kulit coklat eksotisnya yang menggoda. Kami pun sempat bertegur sapa, dan senyum yang meskipun tertutup itu justru seakan menjaga kecantikannya. Ah, Tuhan. Aku pun sontak jadi lupa akan hidupku. Tidak!

Berlelah-lelah dalam bayangan karena dia tadi. Aku mulai berpikir cepat untuk sekedar berkenalan dengannya. Tujuanku sendiri hanyalah untuk berkenalan saja, karena aku tidak mau berharap jauh-jauh, karena energi potensial tersebut. Aku pun coba sedikit berkenalan dan menggali informasi ke dia layaknya seorang jurnalis. Dan, tanpa disangka, dia juga memberikan umpan balik positif untukku, sepertinya dia memang suka juga padaku, atau memang dasarnya saja dia orang yang baik dan ingin berkenalan dengan rekan kerjanya kelak. Kami pun saling akrab berinteraksi satu sama lain, dan ternyata, dia juga akan bekerja di divisi yang sama denganku, sebagai kontributor. Sebuah kesenangan tersendiri dan juga bisa saja sebagai godaan karena takutnya aku akan kehilangan konsentrasi kelak. Ohya, aku lupa, dari perkenalan tersebut, aku baru tahu kalo namanya Tari dan dia berasal dari Jakarta, dia memang orang yang juga sangat senang menulis dan sempat aktif dalam jurnalistik juga. Meskipun, dia jarang aktif sebagai gardu terdepan, hanyalah orang di balik layar saja. Ah, indahnya delusi ini membuat aku jadi lupa untuk memperkenalkan namanya. Mungkin, alangkah baiknya itu dihilangkan dan juga akan lebih baik jika fokus ke apa yang akan dilakukan sekarang ini. Ya, terlalu enak aku berlama-lama ngobrol dengan Tari yang ternyata memang memiliki watak yang antusias dan sangat sopan ini, beberapa peserta pun datang silih berganti untuk memulai orientasi. Kami juga mulai saling mengenal satu sama lainnya, sembari menunggu waktu hari pertama kerja kami dimulai.

Orientasi kali ini pun dimulai dengan sambutan dan ucapan selamat datang dari beberapa karyawan senior di The Indonesian Eyes. Sungguh tidak kusangka, meskipun sedang naik daun di kancah persaingan media online, kantor ini hanya memiliki wartawan yang sedikit. Sampai sekarang ini, terhitung ada sekitar 20 orang dari berbagai divisi yang saling kerja bahu-membahu. Tidak seperti orientasi kampus yang mengharuskan kami membawa benda-benda aneh sembari diteriak oleh Komisi Disiplin. Di sini, kami benar-benar diberikan ucapan selamat datang disertai dengan pembekalan. Dari sekian banyak pembekalan yang dikasih, baik itu tata tertib kantor, ataupun hal-hal berkaitan dengan jurnalistik atau yang berhubungan dengan dunia kerja. Aku kembali terdecak kagum dengan pembekalan dari Bang Ari, chief editor di kantor ini. Di bagian akhir, beliau menutupi dengan menyalakan sumbu semangat.

“Teman-temanku semua, kalian ini kami terima di sini itu bukanlah melalui sebuah proses yang gampang. Di sini, kami melihat bakat dan komitmen yang kalian berikan ketika proses wawancara. Jujur, kalian semua benar-benar membuat kami terkesima dengan jawaban yang diberikan ketika itu. Kami melihat kelak satu-persatu dari kalian akan terus membantu berkembangnya The Indonesian Eyes menjadi lebih baik lagi. Dan, kami percaya itu, karena kalian telah menyatakan komitmen secara tidak langsung dengan sungguh-sungguh.

Teman-teman, perlu kalian ketahui dan mungkin sudah kalian ketahui juga. Hidup itu adalah tentang memilih dan komitmen terhadap pilihan tersebut. Jika kita sudah memilih, mau itu hasilnya baik ataupun buruk ke depan, kita harus komitmen. Memang, susah bagi kita terutama kami untuk tetap menjaga itu, apalagi dari kami yang sudah berada di sini sebelum kalian. Susah bagi kami untuk mempertahankan visi dan misi terwujudnya The Indonesian Eyes sebagai media terbaik.”

Penjelasan membakar dari Bang Ari tadi memang cukup membuat semua peserta ketika itu terdiam. Aku pun sempat berfikir apakah ini orientasi untuk kerja di kantor media online apa seminar kecil-kecilan MLM. Aku takutnya tiba-tiba Bang Ari bawa brosur sebuah merek tertentu dan mengajak kami semua untuk merekrut orang lain lagi. Tentu, ini berpotensi untuk membuatku jatuh dan tak tahu arah. Ketika membahas soal komitmen, entah kenapa ada sebuah siulan yang menggoda alam bawah sadarku.

“Ya Allah, jika Engkau menghendaki aku untuk dekat dengan Tari, maka dekatkanlah dengan baik. Entah, apakah aku siap untuk komitmen dengan dia di masa depan?”

Ah, Andi, kamu banyak bermimpi. Orang manis seperti Tari tentu saja sudah punya pacar, apalagi dia juga merupakan anak Jakarta, kota metropolitan yang tentu saja disertai dengan banyak stok cowok ganteng di sana. Tapi, jika memang dia masih jomblo, ah, memang dia mau sama aku. Tapi, aku sontak melihat wajahnya Tari ketika mendengarkan ceramah dari Bang Ari. Masya Allah, manis!

“Oleh karena itu, berhubung kalian sudah kami terima dan menyatakan komitmen kalian, kami dengan sangat hati minta tolong kepada kalian untuk menjaga itu. Untuk kebaikan kita semua kelak.

Caranya? Dengan mengerjakan secara giat apa yang kelak ditugaskan. Bagi kita, jurnalisme itu bukanlah sebuah kewajiban. Melainkan, sebuah panggilan hati. Apakah anda bersiap untuk itu?”

Sontak, mendengar pertanyaan dari Bang Ari tersebut, kami semua merespon seolah terhipnotis oleh rangkaian kata yang datang.

“Siap! Bismillah!”

Rangkaian hari pertama orientasi akhirnya selesai dilaksanakan, waktu ketika itu menunjukkan pukul 15:02. Aku pun berpisah dengan beberapa teman kerja baruku, termasuk juga dengan Tari. Aku langsung pulang segera ke rumahku dan kembali bersiap. Rencana, setelah Magrib, aku akan pergi ke rumah sahabatku, Farhan. Dia mengundangku untuk makan malam di rumahnya, sekalian bersilaturahmi dengan orang tuanya. Sebuah rezeki yang benar-benar mantap di hari ini. Sudah bertemu dan berinteraksi dengan cewek manis di pagi hari, malamnya ditutup dengan ditraktir makan sama Farhan. Alhamdulillah

OoOoOoOoO

Sore pun sudah menjelang, akhirnya aku sukses menepati janjiku untuk datang bersilaturahmi ke rumahnya Farhan. Ternyata, rumahnya bagus meskipun mungkin menurutnya standar untuk mahasiswa Kedokteran seperti dia. Kebetulan, hari ini, Farhan tidak punya banyak jadwal dan bisa beristirahat juga untuk besok harinya. Maklumlah, kehidupan sebagai ko-ass (mahasiswa rotasi klinik) memang melelahkan dan terkesan tidak masuk akal bagi kami yang memang biasa untuk bekerja sesuai aturan waktu. Di rumahnya itu, Farhan sementara ini tinggal bersama ibu dan neneknya. Waktu itu, Farhan memang pernah cerita kalau ayahnya masih bekerja di sebuah perusahaan kelapa sawit di Batam. Dan, untuk bisa bertemu dengan ayahnya, terkadang tidak menentu. Namun, mereka masih terus menjalin komunikasi dengan baik dan mesra. Di rumahnya, aku diterima dengan baik dan justru ibunya Farhan juga ramah dan baik ke aku. Kali ini, ternyata dia sedang memasak ayam goreng ditambah kroket dan sayur bayam. Waduh, sebuah makanan yang sangat enak dan menggoda untuk dimakan segera.

Aku pun sempat meluangkan banyak waktu untuk berbicara ke ibunya Farhan. Dia memang orang yang sangat senang bercerita tentang masa lalunya Farhan. Tentang kesuksesannya sebagai juara olimpiade nasional, atau tentang mimpinya sebagai seorang penulis. Ya, sama seperti aku. Benar-benar cerita yang cukup menyenangkan untuk didengar. Keasyikan makan bersama, aku pun diajak sama Farhan untuk duduk di gazebo kecilnya untuk membicarakan beberapa hal.

“Gimana bro Andi, hari pertama lo kerja? Enak kah?”

“Ya, so far, enak aja sih. Minggu pertama masih orientasi gini, jadi belum dapat tugas yang cukup berat lah. Lagian juga, kami juga kan tidak mengenal kata liburan. Setiap dapat waktu bebas, itulah liburan kami. Gimana lo koass?”

“Alhamdulillah, deh, kalo gitu. Gue juga ya, gini-gini aja. Kebetulan aja sih, gue lagi dapat stase yang santai. Jadi, ya, ga sibuk-sibuk banget lah.”

“Emang lagi stase apa lo, Bro?”

“Stase kulit, gue. Enak kok. Ya, meski pulangnya tetap kudu jam 3 sore sih. Tapi, jaga bangsalnya ga se-hectic yang lain, yang sampe lo kudu nginep di RS, terus ngecek pasien setiap pagi.”

“Hahaha, yang penting enjoy lah ya.”

“Insya Allah deh, Bro.”

“Oh iya, Bro. Lo kan mahasiswa kedokteran nih, pasti laku kan. Udah ada yang lo incer belum? Apa gimana?”

“Et dah buset. Belum sih ini, Bro. Sempat sih, gue ada kayak jatuh hati gitu sama beberapa orang, tapi entah kenapa sampai sekarang, belum ada pikiran juga buat membangun cinta ke satu orang. Lo sendiri?”

“Sama. Kan gue udah pernah cerita toh ke lo waktu itu soal kisah sama si Linda atau sama si Inayah dulu. Ya, sekarang mereka berdua udah dapat pasangan sih.”

“Ohya, si Linda itu, seriusan?”

“Iya. Dia baru kabarin gue seminggu yang lalu. Sempat terasa sedih sih waktu itu, tapi ya mau gimana lagi. Semuanya sudah berlalu.”

“It’s allright, bro! Terkadang, memang bagi kita, namanya membangun cinta itu adalah sesuatu yang sangat susah untuk dilakukan. Diperlukan keberanian terbesar untuk melanjutkan ke step berikutnya, entah itu soal pilihan karir ataupun percintaan. We need to know the risk and benefit of all the actions we are about to take. Ah, gue jadi teringat akan cerita salah satu orang yang pernah gue gebet waktu itu.”

“Wah, gimana emang?”

“Jadi, gini Bro Andi, gue waktu itu sempat aktif di sebuah komunitas gitu lah. Nah, di komunitas tersebut, gue kenalan dengan seorang cewek lah, dia asli dari Bogor. Ya, buat gampangnya, kita sebut saja nama dia Suci, gitu. Awalnya, ya, kita berbicara hanya sebatas membahas soal komunitas itu aja. Namun, perlahan-lahan, muncul juga gitu benih-benih cinta buat gue dengan si Suci tersebut. Memang, waktu sebelum kami nge-chat cukup intensif ini, kami memang sempat bertemu waktu gue lagi ke Jakarta. Terus perlahan-lahan, kami mulai saling mesra lah ngechatnya gitu ya. Sampai, sempat waktu itu, dia stress karena ada masalah dengan temannya dan berpikir untuk bunuh diri, gue coba tenangi dulu dan bantu selesaikan masalahnya.”

“Wah, terus gimana ya itu, Bro, kelanjutannya?”
“Pada awalnya, memang gue berniat lah gitu untuk membuat dia bahagia, dan sempat juga tuh ada kepikiran buat pacaran sama dia. Tapi, kala itu, dia tidak ingin tiba-tiba langsung pacaran tanpa ada komitmen. Istilahnya, dia itu trauma dengan namanya pacaran terus ujung-ujungnya putus dan mulai menjauh. Dia ingin langsung ada komitmen. Gue sempat menawarkan bantuan, namun dia sendiri ga suka dengan sekedar bantuan dari sosial media. Dia ingin gue kembali bertemu dengannya di Bogor, katanya sih itu yang bisa membuatnya bahagia. Buset bro, koass kayak gini ke Bogor, gue aja ketemu dia pas S1 yang masih cukup santai lah waktunya gitu. Susah loh kalo koass gini untuk sekear liburan keluar kota gini.”

“Iya sih. Emang susah juga untuk posisi lo sekarang ini, Bro Farhan. Terus kalian jadi pacaran ga?”

“Beberapa hari setelah itu, tiba-tiba ada seseorang gitu lah datang ketemu sama si Suci ini, dia katanya sih udah jatuh cinta gitu lah pada pandangan pertama. Akhirnya, dia langsung tembak si Suci ini, kan tadi dia bilangnya trauma gitu lah sama yang namanya pacaran. Si cowok itu, kita sebut aja namanya Bahri gitu ya. Dia itu menggoda Suci dengan kata-kata puitis dan diplomatis gitu lah. Dia katanya sepakat untuk berkomitmen ke dia lebih jauh lagi. Tentu mendengar kata itu, Suci langsung mewek-mewek dong. Akhirnya, dia percayakan diri dia ke si Bahri itu. Lambat laun, ternyata mereka berdua ini dihadapkan kepada sebuah masalah yang besar, terkait kesopanan gitu lah. Mungkin, lo tau lah ya apa. Bahri sendiri memang katanya berasal dari keluarga yang cukup religius. Nah, Suci ini stress dan sempat keceplosan katanya mau bunuh diri lagi karena respon si Bahri yang diam-diam aja kayak menjauh gitu lah ya.”

“Waduh, masalah lagi nih. Terus gimana jadinya mereka?”

“Akhirnya, Suci cerita ke gue. Ya, sebenarnya gue yang nanya sih, ada masalah apa waktu itu. Ternyata, pas keceplosan itu, Bahri malah semakin menjadi dia. Sampai sekarang, bahkan, mereka pernah bikin sebuah janji gitu untuk bertemu teman-temannya si Suci, dikenalin lah gitu. Malah, Bahrinya merespon kurang menyenangkan. Jujur, sih, gue sendiri bingung salahnya siapa sekarang ini. Entah, si Suci yang perlahan-lahan mulai baper yang nyebelin atau mungkin si Bahri yang bertingkah banci karena kabur dari sebuah masalah, padahal sudah ngomong komitmen.”

“Menurut gue sih, pasti yang harus disalahkan si Bahri itu dulu. Kan, tadinya dia sudah berkomitmen untuk membantu Suci toh? Ya, gila aja. Ada masalah kayak gini, tiba-tiba dia kabur gitu, terus langsung responnya negatif gitu ke dia.”

“Iya juga sih. Namun, sebenarnya ya, dari masalah yang diceritain ke Suci itu, gue belajar tentang makna percintaan sih sebenarnya.”

“Gimana emang, bro?”

“Ya gini. Setidaknya, gue yang belakangan ini sempat sedih karena Suci udah pacaran. Sekarang, entah kenapa, agak beruntung gitu, gue gak jadi pacaran dengan Suci. Karena, we all know gitu, mungkin Islam sendiri sudah menyarankan supaya tidak ada kata pacaran. Islam hanya mengenal pernikahan dan ketika berbicara tentang pernikahan, tentu kata yang paling berperan di sana adalah kata komitmen. Iya toh?”

“Iya sih, Bro.”

“Komitmen untuk saling mencintai. Komitmen untuk saling menghargai. Komitmen untuk saling melengkapi. Komitmen untuk saling mendukung di segala titik hidup ini, entah itu titik tertinggi ataupun terendah. Biasanya, dalam budaya kita, tentu cowok sendiri yang harus mengutarakan komitmen terlebih dahulu. Dan, ya, untuk bisa mencapai titik seperti itu, tentu dibutuhkan persiapan mental yang tinggi. Tidak hanya itu saja, kita juga harus banyak berubah, dan tentu saja menjaga apa yang sudah menjadi pilihan kita selama itu. Jangan sekedar ngomong doang kalo emang lo pilih. Tanggung jawab juga dengan pilihan itu. Jalani dengan baik.”

“Nah, itu dia! Memang, itu juga sih harusnya cowok yang sebenarnya itu. Harus memilih dan komitmen atas pilihannya tersebut. Kalo ga, ya akan lebih baik jika lo pakai rok dulu.”

“Hahaha. Pakai rok, bisa aja lo, Ndi.”

“Betewe, lo beli rok gih buat dikirim ke rumahnya si Bahri. Enak aja, ngomong komitmen terus ada masalah ditinggal gitu aja.”

“Mmmm.. mending ngaca dulu deh gue. Gue udah siap belum yak untuk komitmen sama seorang cewek kelak, jangankan cewek, gue aja belum siap untuk membangun komitmen jadi dokter. Ya, meskipun gue udah coba bantu dan kontak si Bahri, malah dapat respon negatif, mungkin guenya kali ikut campur juga masalah internal mereka.”

“Yaudah deh, semangat aja kalo gitu. Susah juga tau emang bantu. Ujung-ujungnya, ya mereka yang selesaikan masalah ini. Udah dewasa juga kan mereka. Eh, ini kuenya ga kita habisin nih. Buset dah, keenakan ngomongin si Suci sama si Banci ini ya, eh salah maksud gue Bahri.”

“Masya Allah. Udah ah, kita doain aja Bahrinya supaya diberikan hidayah untuk ke depannya. Tapi, sekarang, gue juga udah jarang juga kontakan sama si Suci. Males aja sih, lebih ingin berkaca dulu ke diri gue. Lagian, menurut gue, menjalin hubungan percintaan itu, ya ibaratnya sebuah tali atau benang gitu. Jangan sampai dia putus, kalau putus ya, memang sih bisa disambung lagi, tapi pasti akan tidak sempurna dia hasilnya. Aku ingin sebuah cinta yang sempurna, tidak ada luka sama sekali.”

“Iya dah, Iya. Makan lagi tuh. Puitis amat lo, biasa aja. Jadi dokter, ya dokter aja. Jangan ambil-ambil kerjaan gue. Hahaha. Gimana tuh, rencana buku kedua lo?”

“Masih stuck sih sebenarnya. Lo bantu kasih gue feedback kenapa, kan udah jadi penulis juga nih lo. Sekalian, bantu promosiin buku pertama gue gih di media lo. Bisa ga?”
“Gampang lah. Gue atur. Tapi, lo aja ga bayar ke gue soal izin pakai cerita gue buat buku lo. Harusnya ada hak cipta atau semacam penghormatan gitu lah di buku gue. Tulis gitu, Terimakasih buat Burhandi Jordan yang telah menginspirasi buku ini supaya terbit.”

OoOoOoOoO

Sesi diskusi dengan Farhan memang sangat menyenangkan, bahkan sampai kami lupa waktu. Hari sudah malam, sekarang sudah menunjukkan pukul 8 malam. Sudah saatnya aku kembali pamit ke kosan. Aku pun pamit ke ibunya Farhan, dan tanpa disangka, dia turut memberikanku oleh-oleh berupa satu plastik kue keju. Alhamdulillah. Mungkin, akan cocok jika dijadikan santapan bersama Irul ataupun Zulfi. Dan, ya. besok, aku akan kembali jalani hari kedua. Tapi, di hari pertama ini, memang aku belajar banyak tentang kata “KOMITMEN”, entah itu dari Bang Ari ataupun dari Farhan. Sebagai cowok, ya, memang kata komitmen itu penting adanya. Entah itu urusan karir ataupun percintaan. Kita dituntut untuk bertindak sesuai apa yang sudah menjadi komitmen kita. Dan, bukan hanya itu saja, kita harus mempertanggungjawabkan itu. Ingat, cowok itu terkenal dengan keras. Bukan berarti keras hati atau keras kepala, namun keras dalam prinsip hidupnya. Jangan sampai sebuah masalah membuat kita lunak.

Namun, di perjalanan motor ini, aku pun mulai bertanya-tanya suatu hal

Apakah aku kelak akan bisa menjalankan komitmenku untuk bekerja sebagai jurnalis?
Apakah aku kelak akan bisa menjalankan komitmenku bersama istriku kelak?

Ah, Andi. Terlalu dalam kamu untuk berpikir itu. Alangkah baiknya fokus ke apa yang harus kamu lakukan hari ini dan besok. Ya, untuk hari ini, kerjaanku hanyalah, tidur malam dan jaga kesehatan.

Terimakasih, Bang Ari.
Terimakasih, Farhan.

Ohya, tak lupa, sampai ketemu besok, Tari.

Comments

  1. aduh kenapa saya yang tertohok-tohok ya? =) biasnaya kalau masalah berat kayak gitu, termasuk pembahasan berat macam komitmen, aku serahin ke Allah aja, saking bingungnya..biar Allah yg menunjukkan jalan, kita berusaha sebaik-baiknya=)

    ReplyDelete
  2. komitmen, sebuah kata yang gampang diucap, namun mempraktekkannya sungguh bukan hal mudah. *tiba-tiba keinget dengan komitmen-komitmen yang pernah kubuat dengan diriku sendiri, tapi masih banyak yang tak dijalankan sesuai komitmen awal -_-

    ReplyDelete
  3. Kalau sudah komitmen pasti bisa mas, semangat semangat semangat. Tapi ya itu, biasanya yang namanya komitmen tantangannya banyak, hu um harus kuat iman.

    ReplyDelete
  4. Tokoh Andi semakin semangat ya menata hidup barunya, di tempat kerja baru sebagai junali dan tentunya bertemu dengan seseorang yang akan mendampinginya kelak, oh iya, kalau boleh sedikit berkomentar, percakapan dialognya agak panjang-panjang yah, jadi sebagai pembaca saya agak skip nih obrolannya

    ReplyDelete
  5. Wah yang sebelumnya aku belum baca seritanya kok udah diterima aja, cerita kali ini rada boring yaa nggak ada konfliknya coba ternyata si farhan juga ternyata suka ama tari trus jadi beratem he...3x

    ReplyDelete
  6. Komitmen, dalam hal apapun menurutku itu susah. Cerita ini menggambarkan salah satu contohnya. Bahkan komitmen dengan diri sendiri pun luar biasanya susahnya.

    ReplyDelete
  7. Komitmen, kata yang mudah diucapkan, tapi butuh effort yang kuat untuk menjalankannya.
    Katanya, yang bisa menjaga komitmen itu, motivasi yang jelas. Nah, kalau sudah ada motivasi, komitmen mudah-mudahan bisa terjaga.

    ReplyDelete
  8. Hmm sulit soal komitmen.. apalagi yang namanya pria pria diluar sana (eh gue pria ya) .. saya termasuk yang sulit. Karena saya maunya produktif tdk terkungkung. Jadi kalau kerja di kantor A bidang A, knapa ngga sembaru "nganggur ga ngerjain apa2" gw kerja di kantor B dan bidang B asal dua-duanya bisa diambil.

    ReplyDelete
  9. Komitmen memang berat, tapi yang namanya udah milih buat demikian, seberat apapun mesti dijalanin dan pasti bisa dijalani dengan baik.

    Komitmen juga bisa bikin semangat sih. Setidaknya ada alasan kuat yang terus menuntun untuk tetap ada di jalannya. Jadi enggak melenceng ke sana sini.

    Semangat terus untuk tetap menjalankan komitmen, minimal yang dibuat dengan diri sendiri. :)

    ReplyDelete
  10. Komitmen itu gak mudah. Org baru kerja, masuk hal2 baru sering tuh dpt cobaan dg naksir temen. Ya tp kudu dibedain dan tentuin mana yg mau dikejar lbh dulu

    ReplyDelete
  11. Optimisme no.01. Kita bisa mencapainya bisa bersungguh-sungguh. Terkadang yang jadi masalah adalah diri kita sendiri yang merendahkan kemampuan kita. Pertanyaan "bisa ga ya?', "yakin ga ya?". Optimis, Selalu positis, berfikir baik, pasti bisa. Manjadda wa jadda.!!

    ReplyDelete
  12. ini cerita pribadi gitu? heheheh yang namanya komitmen harus disegala bidang. ngga cuman kerjaan atau percintaan ya kak. Komitmen memang sederhana tapi untuk memenuhinya butuh kekuatan mental, batin dan spiritual

    ReplyDelete
  13. komitmen.
    ngucapinnya gampang, njalaninnya yang susah.

    nggak semua orang bisa dipegang komitmennya. makanya untuk jadi orang yang berkomitmen itu kudu yakin sama apa yang kita lakukan, sama apa yang dipilih. jika di tengah jalan ada ragu ya harus diinget komitmennya apa

    ReplyDelete
  14. Untuk tujuan baik..harapan baik..kita butuh komitmen baik dan janji yang ditepati agar tercapai yg diharapkan...

    Kesetiaan pada komitmen..bukti kejantanan lelaki ..

    ReplyDelete
  15. InsyaAllah dengan tekad yg kuat bisa berkomitmen dengan baik. Dan sepertinya memang kita harus berkomitmen dalam banyak hal :)

    ReplyDelete
  16. kalau kita udah komitmen biasanya cobaannya justru lebih berat ya.. disitulah ujian letak keseriusan kita dengan komitmen yang udah kita buat.. semangat!

    ReplyDelete
  17. Wow, ngomongin komitmen ke profesi kerjaan dan sebuah hubungan percintaan ternyata bisa relate ya. Keren, bagus cerpennya. Semoga kita semua mengerti arti dari komitmen dan belajar untuk lebih baik kedepannya.

    ReplyDelete
  18. bagi saya, komitmen dalam segi manapun itu hal yang fundamental..bila kita tidak bisa komitmen maka kita tidak akan ketemu dengan kata konsisten :D

    ReplyDelete
  19. hmmmmm.... mak rizal
    nama ini memang sangat pasaran

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih telah mengunjungi blog pribadi saya. Jika suka, jangan sungkan-sungkan lho untuk berkomentar. Salam kenal!

Popular posts from this blog

Cerita Buruk di Sepertiga Terakhir Malam

Puisi | Menanti Waktu Berhenti

sebuah reuni | detik-detik terakhirmu