Cinta Dari Sebuah Gorengan


“Aduh. Kok jam segini gue jadi lapar gini ya? Keluar yuk guys cari makan.”

“Ayuk, Rul. Tapi, gue lagi hemat uang nih sekarang, duitnya masih belum cair. Masa gue ngutang lagi ke Mas Slamet. Ga enak lah sama dia.”

“Yah. Lo gimana sih, Fi?. Andi, lo kan baru masuk nih ke kosan kita. Pasti bawa uang banyak dong. Gimana kalo untuk hari ini, lo traktir kita? Sekalian lah.”

“Nah, ide bagus. Anak baru harusnya kita ospek lah ya. Kita bully aja nih sekalian. Porotin duitnya.”

“Hadeh. Kalian enam bulan gue tinggalin, masih aja ga berubah-ubah. Padahal udah dapet cewek loh kalian berdua.”

“Hmm. Itu beda lagi, Bro. Kalo untuk cewek, ya pasti kita usaha untuk memakmurkan dia. Dan sayangnya, lo kan bukan cewek, Ndi. Ya masa, gitu kan.”

“Huft. Hari ini doang kan? Untung aja sih gaji nulis gue baru cair tadi siang.”

“Nah gitu dong, Bro. Lo kan sumber keuangan dari kita bertiga. Hahahaha. Ga deng canda. Ga kayak Zulfi tuh, dimintain duit, ngakunya ga lancar mulu. Ga lancar mulu. Gue resepin pencahar lo.”

“Irul, mirror noh. Lo juga kayak gitu kadang-kadang. Eh, Andi, lo kayaknya bakal akrab deh sama Mas Slamet. Kan lo penulis tuh, while dia sering banget berpuisi dan berfilosofi ria. Jago dia bikin perumpamaan. Sayang aja masih jomblo.”

“Oh iya? Wah. Semoga aja deh. Tapi, gorengan bikinan dia enak kan?”

“Ya. Seperti gorengan pada umumnya lah. Lagian sejak kapan ada orang yang pernah review gorengan di Internet?”

“Mmm. Iya juga sih, Fi. Gak ada kayaknya.”

“Nah, mungkin lo bisa tuh jadi pencetusnya. Gue dukung, Bro. Serius. Kalo bisa, bikin juga vlog gitu kan, bahas tentang gorengan. Pasti laku dan bisa banyak subscriber. Mantep kan itu?”

“Apaan sih, Fi. Makin ga jelas aja dah. Yuk ah, kita berangkat sekarang. Gue perlu makan juga ini buat inspirasi menulis gue.”

OoOoOoOoOoO

Sudah 4 hari lamanya aku di Jogja dan masih belum masuk kerja di The Indonesian Eyes. Sehingga, selama 4 hari ini, yang dilakukan hanyalah berjalan-jalan mengunjungi beberapa titik di Yogyakarta. Dari itu Malioboro dengan segala kegiatan ekonomi yang terhampar di sana, Kraton yang melambangkan kepemimpinan di sini, Gunung Merapi dengan jalan mendaki berkelok-kelok yang memacu adrenalin dan juga menikmati peninggalan budaya di Candi Prambanan. Sayangnya, aku belum sempatkan diri ke Candi Borobudur kala itu karena belum ada waktu dan tenaga cukup. Bahkan, aku pun belum pernah ke satupun pantai di Jogja. Ah, sebagai anak dari Pariaman, aku sudah bosan dengan yang namanya pantai. Tinggal jalan kaki 5 menit saja, sudah bisa bermandi pasir di pantai. Benar-benar saya sudah bosan dengan pantai.

Ya, meskipun aku sudah bekerja di sini. Aku tetap saja memperoleh tugas dan semacam challenge dari komunitas blogger yang aku ikuti. Challenge tersebut sering bersifat mingguan dan kadangkala jika menang, hadiahnya pun bermacam-macam. Ada yang berupa duit, pernak-pernik sampai voucher tiket. Sudah berapa kali aku pernah “traktir” Irul dan Zulfi makan ataupun nonton film karena keberuntunganku tersebut. Namun, semenjak aku memasuki dunia kerja, aku sudah mulai mengurangi intensitasku dalam blogging. Ya, setidaknya perlahan-lahan. Itu jugalah yang membuatku harus untuk meluangkan waktu sekedar mencari bahan tulisan dan merumuskan mereka.

Sebenarnya, hari ini, salah satu dari komunitas tersebut sedang mengadakan lomba kecil-kecilan bertema pariwisata. Tema yang sebenarnya bukanlah favoritku. Namun, karena akhir-akhir ini, aku habiskan waktu untuk berjalan mengitari Jogja dan sekitarnya. Aku pun terdorong untuk ikut serta dalam challenge itu. Ya, hadiahnya tidak bisa terbilang besar dan menggoda ibarat tubuh para model majalah otomotif. Namun, aku menganggapnya sebagai sarana meningkatkan skill tulis-menulis. Apalagi sebagai orang yang akan bekerja bagi sebuah media online, tentunya, dibutuhkan kemampuan menulis pada berbagai skenario, ya kecuali menulis skenario sinetron sih. Batas akhir dari kompetisi tersebut adalah besok pagi, dan aku baru menyelesaikan 60% dari target yang dihadapkan. Sepertinya, aku memang butuh keluar dulu untuk sekedar cari angin. Ya kok, cari angin. Bukan cari pacar ataupun cari masalah.

Ketika aku bersiap untuk menuju ke warung, tiba-tiba telponku berdering dan ternyata berasal dari nomor yang tidak dikenal. Aku pun coba untuk abaikan berkali-kali dan tiba-tiba ada muncul SMS dari nomor tersebut.

“Assalamu’alaikum, Bang Andi. Ambo Linda, ambo mau nelpon dulu sabanta. Ado paralu sabanta. Penting.”

Linda? Entah kenapa orang itu mampir lagi sekedar untuk berkontak padaku. Ada apa gerangan tiba-tiba dia ingin telpon aku. Apakah dia ingin mengulang masa lalu yang lama? Apakah keluarganya sudah setuju dengan hal tersebut? Aku memang benar-benar bingung dengan SMS dari Linda itu. Apa jangan-jangan itu adalah orang yang mengaku sebagai Linda?
Ketika seluruh sistem pikiranku sedang bertanya tentang maksud pesan tersebut. Sudah ada teriakan menyebalkan yang muncul dari pintu kamar. Sudah aku tebak itu dari suaranya yang kerap mengangguku selama masa kuliah bersama itu.

“ANDIIII! UDAH SIAP BELUM?? YUK KITA BERANGKAT!!!”

“Zulfi, lo biasa aja kali nanyanya. Keras amat dah, bikin kaget aja. Ga jadi gue traktir nih. Eh, betewe, gue ada telpon dulu, kayaknya sih urgent, ga enak kalo ga diangkat. Kalian duluan aja, entar gue nyusul ke sana.”

“Lo tau jalannya ga, Bro?”

“Ya, angkringan depan mesjid itu bukan sih, Rul, yang tendanya warna merah?”

“Nah, iya itu. Yaudah lo duluan aja ya. Tapi, ingat, jangan PHP, tak sumpahi mandul tujuh turunan kamu.”

“Apaan dah, Fi? Huft.”

OoOoOoOoOoO

Telpon dari Linda pun kembali berdering untuk sekedar menanyakan apa hal penting yang disampaikan padaku.

“Assalamu’alaikum, Linda.”

“Wa’alaikumsalam, Bang Andi. Baa kabanyo kini?”

“Alhamdulillah, ambo kini baik-baik sajo. Linda baa kini kabanyo?”
(Alhamdulillah, aku baik-baik aja sekarang. Kamu gimana?)

“Ambo elok-elok juo. Tadi ambo ka tampek Amak, keceknyo Abang alah karajo di Jogja yo?”
(Aku baik-baik juga. Tadi aku ke tempat Amak, katanya Abang sudah kerja di Jogja ya?)

“Iyo, iko baru beberapa hari ambo karajo di Jogja. Alhamdulillah lah. Kini, Linda sadang sibuk apo kini?”
(Iya, ini baru beberapa hari aku di Jogja. Alhamdulillah lah. Sekarang, sedang sibuk apa kamu?)

“Oh iko, Bang. Ambo kini alah karajo jadi guru di Padang. Kebetulan dapek karajo di SMP Negeri di siko. Lumayan lah saketek buek nabung pitih dulu.”
(Oh. Aku sekarang kerja jadi guru di Padang. Kebetulan dapat kerja di SMP Negeri di sini. Lumayan lah sedikit-sedikit buat nabung uang dulu.)

“Alhamdulillah lah. Oh iyo, kini ko ado paralu apo tuh Linda sampe nelpon-nelpon?”
(Alhamdulillah lah. Ohya, ada perlu apa Linda sampai nelpon-nelpon?)

“Begini Bang, sebagai cowok nan pernah dakek samo Linda, ambo minta doa restu ka Bang Andi. Ambo bulan depan nio nikah. Kebetulan, ambo alah dapek cowok lain, Bang. Inyo anak dari anggota DPRD di Sawahlunto tapi inyo ado punyo usaha di Padang. Kami alah taarufan salamo satahun dan alah memantapkan diri untuk.melanjutkan hubungan ka tingkek berikutnyo.”
(Begini Bang, sebagai cowok yang pernah dekat sama Linda, aku mau minta doa restu ke Bang Andi. Aku bulan depan mau nikah. Kebetulan, aku sudah dapat cowok lain, Bang. Dia itu anak dari anggota DPRD di Sawahlunto tapi dia ada punya usaha gitu di Padang. Kami sudah taarufan selama setahun dan sudah memantapkan diri untuk melanjutkan hubungan ke tingkat berikutnya.)

“Oh, Linda ka kawin kini yo? Alah mantap kan kalian baduo tuh?”
(Oh, Linda mau kawin sekarang? Sudah mantap belum kalian berdua?)

“Insya Allah, Bang. Alah saling mengenal awak satu samo lainnyo. Keluarga kami juo. Alah saling dakek satu sama lain. Minta doa restu yo, Bang.”
(Insya Allah, Bang. Kami sudah saling mengenal satu sama lain. Keluarga kami juga. Sudah saling dekat satu sama lain. Minta do’a restu ya, Bang.)

“Linda, lai ingek kecek ambo wakatu kito harus dipisahkan dulu? Ambo akan ikuik bahagia kalau Linda alah bahagia. Nan pantiang kini, yo, Linda surang kini bahagia juo satu samo lainnyo. Insya Allah, abang relakan Linda samo cowok itu. Sia namonyo?”
(Linda, masih ingat kan kataku waktu kita harus dipisahkan dulu? Aku akan ikut bahagia jika Linda sudah bahagia. Yang penting sekarang, Linda harus bahagia juga satu sama lain. Insya Allah, Abang relakan Linda sama cowok itu. Siapa namanya?)

“Namonyo Hamid, Bang.”
(Hamid, Bang.)

“Oh iyo. Bismillah. Ambo alah merelakan Linda menikah jo Hamid. Semoga kalian berdua akan sakinah, mawaddah, warahmah. Amin. Ambo ikhlas kok.”
(Oh iya. Bismillah. Aku sudah merelakan Linda menikah dengan Hamid. Semoga kalian berdua sakinah, mawaddah, warahmah. Amin. Aku ikhlas kok.)

“Makasih yo, Bang. Minta maaf jika Linda salamo ko ado salah-salah kata. Alah yo Bang. Ambo ka berdoa dulu. Assalamualaikum, Bang Andi.”
(Makasih ya, Bang. Minta maaf jika selama ini, Linda ada salah-salah kata. Sudah dulu ya, Bang. Aku mau berdoa dulu. Assalamu’alaikum, Bang Andi.)

“Waalaikumsalam, Linda.”

OoOoOoOoOoO

Pernah ada rasa cinta antara kita
Kini tinggal kenangan.

Ternyata, Linda tadi menelponku untuk sekedar minta do’a restu karena dia akan menikah dengan Hamid dalam waktu dekat. Ah, kenapa ingatan tentang dia kembali muncul ketika aku mau nongkrong bersama. Ini tidak seharusnya terjadi. Andi, sudah seharusnya kamu tegar. Kamu sedang menjalani mimpimu di Jogjakarta. Aku sudah mencoba membangun kekuatan untuk menahan air mata ini untuk tidak keluar. Rekaman-rekaman memori ini mulai merangsang saluran air mata ini untuk keluar. Betapa indahnya masa 5 tahun bersama Linda. Teringat ketika kami sering jalan bareng, bahas soal bareng bahkan kami saling membantu masing-masing keluarga kami. Aku sempatkan diri bantu pas acara di rumahnya Linda. Begitu juga dengan dia. Keluarga kami pun saling akrab satu sama lain, bahkan adikku, Nita,sering banget jalan bareng sama Linda. Sayangnya, semua kenangan indah ini ya harus hilang tak berbekas. Semua itu berawal dari gosip video porno yang ternyata pernah menggemparkan kampung. Amak pun cerita bagaimana situasi ketika Bapaknya Linda memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami berdua.

“Pak, kami dari keluarganya Linda mau minta tolong ke Andi, kalo dia pulang balik ke kampung. Tolong jangan dekati Linda lagi! Kami tidak mau jika Linda pacaran sama gigolo seperti Andi. Mau ditaruh dimana muka keluarga kami jika kelak Linda dan anakmu yang gigolo itu menikah? Pasti akan sangat memalukan. Kami akan benar-benar menanggung aib yang sangat berat jika itu saja yang terjadi. Bagaimana kata seluruh keluarga kami?”

“Pak, ini semua kan fitnah belaka. Bukan yang sebenarnya terjadi.”

“Hah, wajar sih jika bapaknya membela anaknya yang gigolo. Tapi, kalian sendiri pasti sudah lihat bahwa video itu nyata dan Andi mengakui segalanya tentang video itu. Ya, kalian bisa lihat sendiri.”

“Tapi, kenapa harus mengakhiri? Bukankah harusnya kita mendukung dan mendoakan Andi yang terbaik?”

“Maaf, keluarga kami tidak akan menerima orang yang sudah menjadi penyakit masyarakat, kami bukanlah tempat sampah.”

“Baiklah, kalau seperti itu. Kami mohon maaf dan kami mendoakan yang terbaik buat Linda dan keluarganya. Semoga Bapak akan menerima balasan atas segala yang dilakukan kelak.”

“Balasan? Bukannya gigolo yang harusnya dibalas? Sudah ah, makin bau kami berada di tempat sampah ini. Linda juga sudah saya larang untuk kontak-kontakan dengan keluarga ini. Kami pergi dulu! Jangan pernah main-main dengan kami lagi!”
Waktu itu, Apak langsung marah ke Bapaknya Linda namun tetap mendoakan supaya Linda menemukan cowok yang lebih baik daripada aku kelak. Dan, mungkin, dia sudah dapatkan itu dari seorang Hamid. Ah, nostalgia masa lalu ini pun sempat membuatku tertegun sampai aku lupa akan posisi jalanku sekarang. Dan, ya, sudah melewati mesjid ternyata. Aduh, Linda, kenapa kau datang lagi dengan berita itu ketika aku sudah mulai berlari dengan semua keindahan itu.

Memang, cinta bikin aku gila. Dan, cinta juga yang tiba-tiba merusak rencanaku untuk bersenang-senang dan makan bersama untuk pertama kalinya dalam 1 tahun terakhir ini.

OoOoOoOoOoO

Aku pun sampai di angkringan Mas Slamet dan disambut oleh Zulfi dengan sebuah pertanyaan yang terkesan ilmiah meskipun tata bahasanya sedikit aneh untuk diucapkan oleh orang dengan logat ngapak.

“Lo kenapa, Ndi? Dari analisa mikro ekspresi, kayaknya murung gitu.”

“Kayaknya ga ikhlas nih bayarin kita.”

“Bukan gitu kali, guys. Gue sih ikhlas bayarin kalian, cuma ya.. gue lagi dapet berita buruk nih.”

“Kenapa bro? Betewe, tadi itu telpon dari siapa? Kok, setelah ditelpon, mukanya jadi murung gitu? Apa karena lo ga menang challenge itu?”

“Ya enggak juga sih, Rul. Belum selesai deadline ini. It is not even about writing or stuff like that.”

“So, about what, Bro?”

“Jadi, gini..”

Ketika aku akan memulai cerita tentang telpon dari Linda tersebut, tiba-tiba ada suara yang datang menghampiri, suara tersebut cukup memberikan efek kejutan. Namun, efeknya tidak sebesar film horor.

“Welcome to my angkringan! Eh, ini Mas Andi kan ya? Temannya Mas Irul sama Mas Zulfi?”

“Yaelah, Mas Slamet. Ini kita lagi mau dengerin ceritanya si Andi. Ga asik nih tiba-tiba nyerobot.”

“Yah, maaf deh Mas Irul. Jadinya mau pesen apa, Mas Andi?”

“Bakwan, Mas Slamet. Dua. Minumnya teh hangat aja.”

“Oh, Oke. Segera meluncur!”

“Ah, Mas Slamet nih gimana sih? Baru juga mau denger ceritanya si Andi. Malah dipotong coba. Gak asik! Maafin ya, dia emang suka ngagetin orang sih kadang-kadang. Nyebelin.”

“Maaf ya, Mas Irul. Yaudah, aku lanjut cooking cooking dulu. I am see you!”

“Lanjut yak, jadi tuh gini. Kalian masih pada ingat ga sama si Linda?”

“Linda, mantan lo bukan sih yang di kampung itu?”

“Iya itu, Rul. Dia udah mau nikah sama seseorang lah. Dan ya, dia nikahnya sama anak anggota DPRD lah. Ya kalian tau pastinya ya, kami berdua putusnya karena masalah apa dulunya.”

“Wah. Lo tau darimana, Bro? Pastikan dulu itu beritanya benar. Jangan-jangan hoax doang malah. Tau kan, hoax sering banget sekarang.”

“Ya, itulah tadi kenapa tiba-tiba larut malam ini, Fi, ada telpon dari Linda, Dia itu mau mengabari soal rencana pernikahannya tersebut sih, Bro.”

“Wah, Bro. Lo yang sabar aja lah, Bro. Jangan lupa berdo’a. Gue yakin kok orang baik pasti ketemu sama orang yang baik. Mungkin lo di Jogja ini bakal ketemu sama jodoh. Siapa yang tahu?”

“Iya sih, Fi. Gue mulai ngerasa, alangkah baiknya gue memperbaiki diri dulu sekarang sembari kerja di sini. Gue masih banyak belajar dan berjuang.”

“Ndi, jodoh itu ada di Tangan Tuhan. Ya, tinggal kita lagi yang mau nyarinya gimana. Entah itu di mesjid, di kantor ataupun di diskotik. Semua tergantung proses dan apa yang kamu punya lagi kok. Emang gimana sih, jodohnya?”

“You are right, Fi. Makasih ini betewe. Katanya sih, dia mau nikah sama orang kaya gitu. Dia anaknya anggota DPRD dan sedang punya usaha di kota Padang. Pastinya, Linda dan keluarganya kepengen toh?”

“Iya juga sih, Ndi. Sekarang, mah cewek, kalo nyari duit, pasti mikirin bibit, bebet sama bobot. Kalo ga tampangnya keren atletis macam tentara ganteng, ya, pastinya bakal ngincer yang pemasukannya gede. Pastinya juga, dia akan mencari orang dengan keturunan yang baik, entahlah itu anak politisi kek, anak pengusaha kek. Mana ada yang mau sama orang-orang biasa aja macam kita ini.”

“Lo kali, Rul, yang biasa aja. Gue sih luar biasa!”

“Halah, mirror noh, Fi. Lo kalo luar biasa pasti mungkin bakal ngincernya selebgram hijaber kan?”

“Itu bukannya ga dapat, Rul, gue sih tidak mau ketinggian harapan sih, takut jatuh guenya ntar.”

“Oh My God, pembicaraan kalian bertiga kok jadi interesting gini sih, cyn. Pada bahas apa ya?”

“Apaan sih, Mas Slamet? Ngikut campur aja dah. Masih aja dah sok English”

“Eh, Mas Irul. Kamu tau kan aku ini punya sebuah ilmu rahasia. Jadi, aku bisa menafsirkan apa yang ada di pikiran seseorang saat ini. Lagian, kan aku ngomong English ini kan, biar kelak ada bule macam CNN gitu dateng ke sini, wawancara angkringan ini,kan ya, harusnya ready lah.”

“Punya ilmu apaan coba, masih jomblo juga situ. Yaelah, Mas. Ilmu ga dipake itu ya kayak lo punya lo beli roti segudang tapi ga dimakan. Mubazir, Mas.”

“Hahaha. Beda ya, Mas Irul, ilmu itu semakin dipakai malah bertambah, kalo roti, semakin dipakai malah berkurang. Harus diasah dulu. Ini guys, makanannya sudah ready nih. Yuk, dimakan dulu guys. Jangan lupa doa baca Bismillah ya cyn.”

“Makasih ya, Mas Slamet.”

“Mas Andi kayaknya lagi galau mikirin cinta ya ini.”

“Iya, Mas Slamet. Kok bisa tau?”

“Of course lah, namanya kan aku tadi punya ilmu gitu. Ohya, by the way busway, Mas Andi ngerokok ga ini? Kalo iya, aku jual kok.”

“Engga kok, Mas. Aku emang ga pernah ngerokok. Paling merokok pasif.”

“Oh baguslah kalo gitu. Terus terang, aku paling ga suka sama yang namanya smokers gitu. Tapi, ya kadang ga enak sama pelanggan juga kalo mereka ga disediakan rokok gitu.”

“Iya sih, Mas.”

“Udah, Mas Andi. Jangan galau mulu mikirin cinta. Dibawa enjoy aja seperti air mengalir. Kalau kamu terus mikirin cinta, mungkin kamu akan terus bermuram durja, tidak bersemangat sampai anemia. It’s okay!”

“Asik. Pujangga sudah mulai menarik kata-katanya. Mantep nih.”

“Of course dong. Penjual jaman now gitu lho.”

“Hahaha. Udah, Mas. Irul mah emang gitu orangnya. Jangan ditanggepin mereka. Aku juga selama 4 tahun main mulu bareng mereka. Udah kebal sih ini hati. Tapi, ya lucu juga sih jadinya sama mereka. Enak gini kan candanya.”

“Iya kok, selama ini, mereka bercanda doang. Ohya, soal cinta tadi, memang sih aku jomblo, tapi sebenarnya alangkah baiknya kita mencari dulu diri kita baru kemudian tawarkan diri kita ke orang yang dirasa cocok bagi kita.”

“Hmm.. benar sih, Mas.”

“Iya lah, Bro. Menurutku, membangun cinta ke lawan jenis itu ibarat kita memasak bakwan.”

“Hah? Bakwan? Gimana?”

“Iya. Serius ini! Gini, mari saya jelaskan.”

“Gimana emang, Mas?”

“Kamu paham kan bakwan itu dibuatnya gimana. Bakwan itu dibuat dari berbagai macam bahan. Ada sayurnya, ada jagungnya, ada daun bawang, ada tepungnya. Kita coba lihat deh, kira-kira kalo disatukan dengan baik seperti di minyak goreng gitu, pasti jadi bakwan yang enak bukan?”

“Iya sih, terus gimana dengan cinta, Mas?”

“Nah, membangun cinta itu terdiri dari berbagai macam komposisi. Tentu ada kejujuran, pengorbanan, kasih sayang, pengertian, dan berbagai macam. Mari kita satukan segalanya dengan baik. Dan tentumya alangkah baiknya jika kamu bangun cinta tersebut dengan niat yang baik dan juga di tempat yang baik juga. Bismillah bro.”

“Benar juga sih kamu, Mas Slamet. Untuk bisa menciptakan cinta yang baik itu, memang harus persiapkan banyak hal juga. Jangan sembarangan mikirin cinta ya karena liat seorang itu berpenampilan baik atau enggak. We need to have a lot to take ourselves to the next step.”

“Nah, bener tuh, Mas Zulfi. Tinggal kamunya lagi aja, Mas Andi. Apakah kamu sudah punya semua bumbu dan komposiai yang bisa ditawarkan kepada seseorang yang membutuhkan itu? Dan dengan cara gimana? Pastinya itu yang baik. Jadi, untuk itu, kita, ya bukan kamu aja sih, kita juga pasti sedang mencoba membangun cinta sesuai yang kita inginkan. Ya, mungkin sudah saatnya bagi kita ke pasar untuk mencari bahan-bahan terbaik untuk membuat bakwan yang enak, lezat dan tentu saja berkesan.”

“Wah. Setuju tuh, Mas Slamet. Mantep nih!”

“Iya dong, itulah kenapa aku jomblo, Mas Irul. Aku masih sibuk ke pasar ini. Hahaha. Eh, kok pada belum habis nih minumnya. Habisin dulu tuh. Kasian ntar itu nangis menunduk dia, merindukan bulan.”

OoOoOoOoOoO

Pembicaraan dari Mas Slamet ini cukup memberikan sedikit pencerahan bagiku tentang makna cinta dan apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk bisa membangun cinta yang baik. Aku jadi teringat kembali ke masa dimana hubunganku sama Linda harus kandas hanya karena ketakutan keluarga akan nama baiknya tercemar ketika Linda pun harus menikah dengan gigolo. Aku pun secara terpaksa menerima keputusan tersebut ketika Bapaknya Linda berkata padaku melalui telpon. Malam itu terasa sangat menyedihkan sampai aku bingung harus berkata apa lagi untuk sekedar pembelaan. Aku benar-benar sedih ketika aku harus berpisah setelah sekian tahun saling mendukung bersama. Alasannya ya, satu.

Fitnahan video porno yang dirancang oleh Tino, si banci kaleng.

Aku pun mengerti dan mungkin, cukup logis ketika mengetahui alasan dari keluarga Linda untuk menjauhi diriku. Namun, di samping menjauhi, apa salahnya jika tidak bisa mereka ketika itu untuk mengerti saja, bahwa apa yang sebenarnya terlihat di video itu terjadi bahkan tanpa aku sadari. Ah, nasi sudah menjadi bubur emang. Semuanya sudah berlalu, aku juga tidak bisa membantah itu, karena sudah ada bukti otentik yang tidak bisa dipatahkan. Adegan porno itu memang sudah nyata dan terlihat di sana. Apak pun sebenarnya sempat marah padaku, namun setelah melalui renungan, justru dia mulai menyalahkan keluarganya Linda dan menganggap mereka sebagai kaum pengecut yang hanya memikirkan kehormatan dan nama baik saja.

Tetapi, ketika Mas Slamet menyebutkan bahwa bumbu yang diperlukan untuk membangun cinta adalah kejujuran, pengorbanan, kasih sayang, pengertian. Dan, melihat keputusan dari Linda sekarang ini, aku mulai menanyakan satu hal. Kenapa tidak ada kekayaan di sana? Linda sendiri sudah memutuskan untuk menikahi anak dari seorang anggota DPRD. Bayangkan, bro, keturunan politisi pastinya punya kekayaan dan kehormatan yang tinggi di mata masyarakat. Tentunya, akan sangat wajar, jika Linda lebih memilih Hamid ketimbang aku, yang meskipun sudah mulai kembali menemukan arah hidupnya, tapi ya, tetap saja, masa lalu yang mencekam itu masih terus membuatku merasa menjadi hina di mata orang yang mungkin mengenalku. Memang, sudah 5 tahun lamanya sejak video itu beredar, dan 5 tahun itu juga masih menjadi masa yang cukup berat untukku. Entah, apakah teman-teman kantorku kelak akan ikut membahas tentang video hasil fitnahan itu. Aku kurang tahu, semoga saja tidak.

Ya, setelah aku dipisahkan oleh Linda, aku pun mulai mencoba kembali menyusun berbagai fragmen yang kurang tentang segala pemahamanku tentang cinta. Aku mencari ke sana ke mari, berjelajah, baik itu ke kafe, ke mesjid, bahkan pernah sampai ke diskotik. Entah, kenapa sampai sekarang, aku masih belum mendapatkan jawaban memuaskan dari segala pencarian. Mungkin, apakah aku belum membuka diri akan cinta yang baru atau bagaimana. Tapi, segala pencarian itu membuatku lelah dan bosan, hingga aku berpikir apakah kelak aku akan jomblo seumur hidup. Nasibku sendiri benar-benar berbeda dengan Irul ataupun Zulfi. Mereka berdua sudah memiliki pacar dan sudah ada rencana untuk meningkatkan jenjang hubungsn hingga pelaminan. Dan, aku, ya, masih berjuang mencari cinta di pasar.

Mengawali pagi yang dingin di kamar kosan, aku pun mulai menghitung hari menuju hari pertama bekerja di The Indonesian Eyes. Dan, aku pun mulai panik dengan segala kemungkinan yang ada. Entah, apakah mungkin mereka akan baik padaku. Atau apakah mungkin di sana aku akan terlibat dalam drama cekcokan antar lawan jenis seperti yang terjadi antara Irul sama Sarah waktu di kuliah. Apakah mungkin aku akan bertemu dengan orang bersifat serupa dengan Tino si banci kaleng itu. Atau justru, aku akan bertemu dengan jodohku di sana. Ah, bahasan tentang jodoh ini membuatku tiba2 tersenyum malu, mengingat sebuah kisah cinta yang nyaris saja terjadi di kampus. Aku masih belum punya banyak bayangan tentang mereka. Bayanganku hanya muncul terhadap nama-nama wartawan baru yang aku tahu dari file yang dilampirkan di e-mail yang dikirim oleh The Indonesian Eyes. Namun, tidak seperti biasanya, aku tidak ingin untuk terburu-buru mencari info tentang mereka. Berbagai alasan pun muncul. Dari itu, aku yang malas untuk menstalking sosial media mereka, atau aku yang masih disibukkan dengan challenge ini, atau kesempatanku untuk menikmati Jogja jadi semakin tidak menyenangkan. Ah, mungkin aku hanya ingin dikejutkan sedikit dengan suasana kantor baruku kelak.

Tahun kedua itu adalah tahun dimana kami sudah resmi melepaskan status sebagai mahasiswa baru. Tentunya, mahasiswa pun semakin aktif gila-gilaan dalam organisasi. Termasuk juga dengan aku dan Irul. Bakatnya di bidang fotografi dan desain membuatnya sukses digandrungi cewek-cewek. Beda dengan saya yang hanya berstatus sebagai anggota pers kampus. Boro-boro cewek mau mendekat dengan kami, justru ada cewek yang menjauhi kami karena takut diwawancara. Tahun itu adalah tahun dimana bakat menulisku mulai bersinar. Tulisanku semakin sering menembus surat kabar, baik itu level regional bahkan sampai ke surat kabar nasional, bahkan sampai ada satu surat kabar yang meminta aku untuk menulis materi rutin per dua mingguan tentang keagamaan. Sehingga, perlahan, aku pun sering mendapatkan pemasukan tambahan. Setidaknya, orangtua bisa sedikit fokus untuk membayar uang sekolah Nita dibandingkan harus menanggung biaya hidupku di Jakarta.

Perlahan, aku pun sering didatangi beberapa orang untuk sekedar meminta kiat mengenai tulis-menulis ataupun meminta formula rahasia. Salah satunya adalah Inayah. Cewek teman seprodi asal Jakarta, namun punya keturunan Aceh. Dia sering sekali datang ke tempatku ketika aku sedang di kampus, bahkan pernah sampai sempatkan untuk.mampir ke rumah untuk sekedar ngasih tulisannya ke aku. Dia rencananya ingin jadi penulis buku sastra. Ah, sesuatu yang justru belum pernah aku pikirkan sampai sekarang. Dia ceritanya ingin menulis sebuah novel, tapi alasannya untuk konsultasi tulisan ke aku cukup aneh. Ya, karena aku seprodi sama dia. Itu saja. Tidak ada alasan lain yang dia ceritakan mengenai kebiasaannya untuk meminta komentar denganku. Padahal, aku sendiri belum punya pengalaman dalam menulis sastra. Ya, mesti berbagai buku novel pernah muncul menemani hari-hari kosongku dan turut mengisi rak bukuku di kosan. Namun, aku masih belum punya pikiran untuk menulis satu ataupun dua karya sastra. Hanya esai dan artikel saja yang tetap menjadi favoritku dalam menulis. Keputusan Inayah tersebut membuatku berpikir tentang maksud lain dari hanya sekedar kami berbagi program studi yang sama. Padahal, ada beberapa penulis di prodiku yang cukup berbakat dalam bidang sastra. Ada juga yang berhasil menuliskan sebuah novel singkat, atau dikenal dengan sebutan teenlit. Jadi, aku mulai coba otak-atik berbagai alasan, dan semuanya mengarah ke satu hal. Alasan tersebut adalah : Inayah mungkin suka denganku dan memanfaatkan konsultasi sebagai ajang modus (Andi, untuk kali ini, kamu boleh kok untuk ge-er).

Alasan yang ditarik itu jujur sempat membuatku salah tingkah ketika bertemu dengan Inayah. Apalagi, ketika dia datang untuk konsultasi denganku. Hal yang sebenarnya terjadi biasa saja ibarat air mengalir, namun perlahan-lahan, membuat jantungku berdebar. Bagiku, Inayah adalah sosok yang cantik dengan kerudung yang panjang, tutur katanya sopan seolah masih ada budaya Aceh yang tersisa meskipun sudah tersusupi budaya Jakarta. Sempat terpikirkan aku untuk suka padanya terutama karena aku sudah berada pada fase jomblo pasca dipisahkan dengan Linda. Namun, setelah beberapa lama pendekatan, aku pun memutuskan untuk berdiam diri dulu soal cinta.

Kisahku dengan Inayah juga sering dijadikan bahan olokan oleh beberapa orang dari kampusku. Tak terkecuali, dengan Irul dan Zulfi yang memintaku untuk melakukan penjajakan dengan Inayah. Irul bahkan sempat diam-diam memotret momen ketika aku dan Inayah berkumpul untuk kegiatan konsultasi “rutin”, dia memintaku untuk menyimpan foto itu dompet dan jujur, meskipun aku mengatakan permintaannya sebagai permintaan bodoh. Aku sebenarnya, simpan foto itu di dompet. Ya, aku taruh di balik foto orangtua aku, biar tidak terciduk. Hal yang lebih mengejutkan lagi datang dari seorang dosen yang merupakan dosen pembimbing forum pers kampus. Ya, jadi, pas satu momen di rapat forum pers, dia menanyakan apakah aku kelak berencana akan melamar Inayah. Aku hanya mendoakan beliau semoga kelak aku dapat yang terbaik untuk masa depanku. Dan, aku lebih berpikir untuk membangun apa yang aku inginkan dulu. Membangun mimpi sebagai wartawan yang mungkin bisa bekerja di media berkelas Internasional serta ke luar negeri hanya untuk meliput berbagai aktivitas ataupun simposium. Ya, setidaknya aku mulai menapaki itu di sini. Perlahan demi perlahan.

Ah, Inayah. Teringat betapa indahnya kisah kami berdua waktu itu, yang dibumbui dengan berbagai macam drama yang menyenangkan. Tuhan, aku jadi ingin kembali ke masa kuliah. Namun sayang, setelah melalui beberapa pencarian terutama di sosial medianya, akhirnya aku pun tahu bahwa dia sudah berencana akan menikah dengan teman kantornya di Jakarta. Berita yang menyedihkan, namun, aku turut bahagia dengannya. Semoga hubungan mereka langgeng sampai umur memisahkan. Amin. Lagian, mungkin aku juga yang bersalah karena waktu itu belum membuka hati untuk Inayah. Tuhan, kenapa aku bodoh sekali waktu itu? Apakah mungkin waktu itu aku egois juga karena lebih memikirkan karir ketimbang percintaan?

Pernyataan Mas Slamet semalam, membuatku kembali berpikir tentang filosofi cinta yang dia hubungkan dengan gorengan. Jajanan kampung yang selalu akrab menemani di kala kuliah dulu. Tidak hanya membahas tentang resep dan filosofi cinta saja, dia juga sempat bercerita one-on-one denganku tentang bagaimana dia masih belum menikah di usianya yang sudah hampir menginjak kepala tiga. Di kala itu, dia juga sudah berpikir tentang bagaimana orangtuanya sudah memberikan kode seolah meminta tambahan cucu dari anak-anaknya. Dia pun juga cerita bagaimana malunya dia ketika mengetahui adik perempuannya sudah menikah, sedangkan dia masih berstatus lajang hingga sekarang. Ya, dia kerap menyebut dirinya sebagai “JOJOBA”, kepanjangan dari Jomblo Jomblo Bahagia.

Mendengar ceritanya, aku mulai takut dan berpikir hal serupa. Apakah aku mungkin saja akan berakhir menjadi jomblo hingga usia tua kelak. Hanya Tuhan yang mampu menjawabnya. Berbicara dengan Mas Slamet membuatku tersadar akan bagaimana kami berdua bisa berbagi cerita yang sama. Kami berdua pernah merasakan bagaimana ditolak mentah-mentah, bagaimana rasanya kena tikung oleh teman baik, dan terakhir, bagaimana rasanya harus menerima mantan kami menikah. Dari situ juga, dia mulai mengerti bagaimana caranya untuk membangun cinta dengan benar. Ternyata, selain berbisnis angkringan malam, Mas Slamet sendiri juga merupakan seorang yang turut dipercaya sebagai penjaga mesjid bersama yang lainnya dan juga mengurus obat herbal. Mungkin, itulah alasannya kenapa di angkringan yang hanya dibuka setelah Shalat Isya’ itu, ditemukan juga adanya promosi produk-produk herbal disertai dengan buku-buku Islami. Sebuah kombinasi yang terkesan langka bagi kebanyakan warung makan yang pernah aku kunjungi selama 23 tahun hidupku ini. Benar-benar salut aku dengan kehidupan Mas Slamet ini.

Namun, dari pertemuan dengan Mas Slamet yang ternyata punya banyak koleksi buku sastra di rumahnya ini. Aku pun mencoba merenungkan gorengan sembari menyantap gorengan pemberian Mas Slamet sebagai tanda pertemanan awal kami berdua. Sebagai orang yang sering menikmati gorengan, aku pun merenungi satu hal, bahwa membangun cinta memang sangat mirip dengan membangun gorengan. Tidak perlu terburu-buru untuk membangunnya, yang diperlukan hanyalah fokus dan ketelitian serta keikhlasan. Lihat, bagaimana jika gorengan dibuat dengan terburu-buru, mungkin rasanya akan hambar dan hanya akan kebanyakan minyak yang tentu tidak sehat untuk kesehatan. Cinta juga harus dibangun dengan kondisi yang baik, seperti dengan gorengan. Bagaimana jika gorengan itu dimasak dengan minyak jelantah, mungkin akan tidak berfaedah rasanya. Mungkin, gorengan itu juga yang membuat Mas Slamet tidak mau terburu-buru mengambil keputusan untuk mencari cinta. Terutama, bagi cowok sendiri, memang tidak perlu batasan usia untuk bisa menikah. Aku langsung teringat ke Mak Joni, dia bahkan baru bisa menikah saat sudah menginjak 40 tahun. Mungkin, apakah Mas Slamet akan mengikuti jejak Mak Joni untuk menikah di usia tua. Ah, bukan aku yang tau jawaban dari segala itu. Mungkin, akan lebih menarik jika ditunggu jawabannya di lembaran-lembaran berikutnya.

Keasyikan merenungkan disertai dengan merapikan kamar kosan, aku pun terlupa jika hari ini, aku harus ke pasar untuk sekedar beli barang-barang persediaan untuk satu bulan di kantor baru kelak. Aku buka kembali lembar buku jurnal kecilku, tempat aku menuliskan barang-barang yang harus dibeli selama satu bulan. Di jurnal tersebut, tiba-tiba muncul satu pesan di salah satu lembar jurnal tersebut.

“Mencari jodoh itu harus yang saumpamo aua jo tabiang, umpamo ikan jo aia. Saling menguatkan, saling membutuhkan.”

Ah, benar juga pesan Mas Slamet berarti. Ya sudahlah, setan sepertinya sudah mengetuk pintu kamar kosan, minta izin untuk dirasuki karena kebanyakan merenung. Berarti, sudah tandanya aku harus segera ke pasar dan menyiapkan beberapa draft untuk tulisan yang akan disertakan sebagai bahan untuk challenge ini. Ya, aku ke pasar untuk mencari bahan yang lengkap untuk kehidupanku kelak.

Bismillah, mari kejar dan bangun cinta sebagaimana semestinya! Terima kasih, Mas Slamet atas pertemuan pertama kami yang sangat berkesan. Mungkin, aku kelak akan cocok dengan dia, seperti apa yang dikatakan oleh Zulfi sebelum mampir ke tempat gorengan itu. Dan, pastinya kecocokan kami untuk hari ini ada pada kisah percintaan kami yang terkesan abstrak. Namun, bagi kami, abstrak tidak selamanya jelek kok. Ya, hanya belum berbentuk saja kok.

Comments

  1. Optimisme setelah kehilangan itu biasanya datang setelah Kita bertemu dengan seseorang yang tepat buat Kita :) tulisan yang cukup panjang namun mengalir :)

    ReplyDelete
  2. Wihiii keren ceritanya. Aku sampe lupa kalo judulnya ada gorengannya, hahaha, untung sempet disinggung lagi soal bakwan. Nemu deh kaitan sama judulnya, yaaa meski ceritanya panjang banget. Berapa kata ini??

    Btw, kata2 yang bahasa inggris, sebaiknya dimiringin atau diitalic.

    Yang menarik menurutku adalah percakapan yang pake bahasa padang. Eh padang ya itu? Sedikit2 aku belajar dan jadi ngerti laaah

    ReplyDelete
  3. Dari gorengan bisa jadi tulisan sepanjang ini, tapi tak terlewat sekatapun. :)

    Pernah mengalami juga pisah sama pacar hanya karna do'i dari keluarga yang kurang baik. Dan akhirnya dia nikah duluan, saya kirim kado aja. Sampai sekarang masih temenan, bahkan istrinya baik banget sama saya. #eh malah curcol 😁

    ReplyDelete
  4. Awal baca aku emosional nih, entah kenapa ga suka sm pertemanan yg malakin temen minta traktir, aku pribadi lebih suka traktir atas inisiatif ku sendiri ketimbang di minta.hehehe
    Tapi kemudian emosinya hilang karen Mereka teman yg baik, menghibur andi ketika down.. Yg sabar ya.. Akan ada jodoh yg pasti lebih baik dr Linda, kenapa lebih baik? Karena di pilihkan Allah untuk menjadi jodohnya

    ReplyDelete
  5. Kisah cinta Andi penuh lika-liku, memang pedih yah kalau harus putus cinta karena fitnah dan si mantan lalu minta izin untuk menikah, Akhirny Andi pun menemukan cinta yang baru

    ReplyDelete
  6. Cerpennya panjang sekali. Keren. Mestinya si Linda ngasih kabar kalau dia mau balik lagi sama Andi biar lebih dramatis. Hehe

    ReplyDelete
  7. mencari jodoh seumpama aue jo tabiang...
    memang betul
    klu cuma bertepuk sebelah tangan itu namanya bukan jodoh
    tapi cinta plantonis hehehe
    mencari aue dan tabiang ini yg susah gampang
    tp itulah yg namanya jodoh...rahasia dan tak bisa ditebak

    ReplyDelete
  8. Semangad kejar cinta!!. Banyak hikmah yang bisa peroleh,
    Dimana ngingetin juga gimana seorang lelaki harus bersikap.
    Niat yang baik pasti berbuah baik, adaa aja nanti jalan nya d buka,
    begitu pun sebalik nya,
    niat jelek ya berbuah jelek.

    ReplyDelete
  9. Dari siapapun kita bisa belajar banyak hal ya, termasuk dari penjual gorengan. Filosofi yang disodorkan masuk akal juga. Hehehe. Membangun cinta memang gampang-gampang susah sih, kayak mau bikin bakwan yang yummy :D

    ReplyDelete
  10. Aku fokusnya kok malah kepengen makan gorengan nih. Akunpernah baca cerita seorang anak jutawan yang jatuh cinta pada penjual gorengan disamping kantor bapaknya. Kenapa? Karena biat sambelnya sepenuh hati hehehe.

    Ceritamu makin panjang dan menarik sekarang Mas... makin berasa gurihnya :)

    ReplyDelete
  11. Aku kira...pengalaman tentang cinta dan penggorengan #eh

    Ternyata cerpen..jadi baca 2 kali biar paham...

    Lola banget ya aku.

    ReplyDelete
  12. Aaaaaah kisah yang sangat panjang, nostalgia Linda dan Inayah. Selayaknya mereka sudah bertemu jodoh, semoga dipertemukan pada waktu yang tepat bula ya, Bang Andi. Kujadi ingat gorengan yang suka disajikan kalau rapat, duh, paling suka sih mendoan atau tahu isi. Enak banget walaupun kadang besoknya serak, jadi ingin bakwan juga duh piye tah :3

    ReplyDelete

Post a Comment

Terimakasih telah mengunjungi blog pribadi saya. Jika suka, jangan sungkan-sungkan lho untuk berkomentar. Salam kenal!

Popular posts from this blog

Cerita Buruk di Sepertiga Terakhir Malam

Puisi | Menanti Waktu Berhenti

sebuah reuni | detik-detik terakhirmu